Saturday 30 May 2009

Boediono, BLBI, dan beban rakyat

http://www.tempointeraktif.com/hg/kolom/2009/05/22/kol,20090522-79,id.html


Mungkin Boediono tidak korupsi, tapi ia memperkaya konglomerat. Apakah mereka ini yang jadi donatur kampanye?



Menakar Efektivitas Duet SBY-Boediono

Jum'at, 22 Mei 2009 | 11:16 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Saat ini publik sudah mendapat gambaran utuh tentang para kandidat yang akan bersaing di ajang pemilihan presiden 2009. Wajar jika incumbent menjadi fokus perhatian dan bahan kalkulasi. Apalagi berbagai survei menempatkan incumbent di atas angin, dan berpotensi paling besar untuk menang dalam pemilihan presiden 2009. Memang, sejak proses penentuan kandidat mendekati final, duet SBY-Boediono cukup menyita perhatian. Terutama karena kontroversi yang muncul dengan terpilihnya sosok Boediono sebagai pendamping. Menyikapi Boediono sebagai calon wakil presiden, reaksi publik memang campur aduk. Mereka yang keberatan menuding Boediono sebagai sosok neolib yang merusak tatanan perekonomian rakyat. Para profesional dan eksekutif perusahaan-perusahaan di sektor keuangan antusias alias mendukung. Tetapi pers juga merekam keresahan di kalangan pengusaha.

Komunitas pengusaha sudah telanjur merasa nyaman dengan duet kepemimpinan SBY-JK. Terlepas dari plus-minus kinerja kepemimpinan SBY-JK, dunia usaha menikmati bagaimana kesigapan JK mewujudkan kepastian. Ketika publik melihat pemerintah lamban karena bimbang untuk memfinalkan sebuah kebijakan, JK tampil mengubah kebimbangan menjadi kebijakan final yang segera diimplementasikan. Kemampuan JK menutup kelemahan Kabinet Indonesia Bersatu bahkan sempat melahirkan asumsi bahwa the real president adalah JK.

Kalkulasi-kalkulasi seperti itulah yang menimbulkan keresahan di kalangan pengusaha. Keresahan itu tidak berarti meng-underestimate kapasitas Boediono. Pada bidangnya, kompetensi dan kapabilitas Boediono sudah diakui publik internasional. Masalahnya adalah Boediono belum teruji menanggung beban tugas pada level wakil presiden. Sebagai orang yang berkepribadian pendiam, kapasitas sebagai wapres itu bisa menghadirkan masalah, mengingat publik dan pasar selalu membutuhkan sinyal. Hampir lima tahun duet kepemimpinan SBY-JK, sinyal-sinyal itu selalu disuarakan JK dengan gamblang, dengan bahasa dan pilihan kata-kata yang gampang dicerna rakyat kebanyakan.

JK bisa membuat banyak orang memahami alasan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Dengan pendekatan dialogis, dia bisa mendorong jutaan ibu rumah tangga mengubah penggunaan minyak tanah ke gas sebagai bahan bakar di dapur mereka. Adalah JK juga yang pertama kali mengecam para eksekutif bank secara terbuka, karena mereka gagal memaksimalkan penyaluran kredit ke sektor riil.

Catatan paling menonjol tentang kinerja JK sebagai wapres adalah kecepatan dan keberaniannya mengimplementasikan beberapa kebijakan berisiko tinggi, terutama risiko politik. Kebijakan menaikkan harga BBM hingga rata-rata di atas 100 persen serta kebijakan konversi bahan bakar dapur dari minyak tanah ke gas--berimplikasi pada jutaan rumah tangga--berisiko sangat tinggi dari aspek politik. Dua kebijakan strategis ini implementatif, karena JK pasang badan menghadapi hiruk-pikuk reaksi masyarakat, termasuk kecaman dan caci-maki sekalipun.

Sekuat dan setegar itukah duet kepemimpinan SBY-Boediono pada periode 2009-2014? Sekadar sampai pada rumusan kebijakan, publik sedikit pun tak ragu terhadap kompetensi Boediono. Pertanyaannya, apakah kebijakan-kebijakan SBY-Boediono nantinya bisa implementatif? Banyak orang ragu. Berdasarkan pengalaman, publik sudah melihat bagaimana SBY kerap ragu-ragu, maju-mundur untuk mengimplementasikan kebijakannya. Dalam hal ini, apakah Boediono berani mau mendorong dan meyakinkan SBY seperti JK agar tegar dan konsisten menerapkan kebijakan pemerintah. Apalagi, mengadopsi wewenang presiden untuk memfinalkan sebuah kebijakan, hal yang beberapa kali dilakukan JK untuk sejumlah kebijakan strategis dan mendesak.

Karakter Boediono seperti itu terbaca jelas, baik sebagai Gubernur Bank Indonesia maupun sebagai Menteri Koordinator Perekonomian. Kita garisbawahi saja pernyataannya bahwa “negara tidak boleh terlalu banyak campur tangan”. Sebagai Gubernur BI, dia tidak memaksimalkan peran bank sentral sebagai regulator yang “berhak memaksa” perbankan menurunkan suku bunga.

Semasa menjabat Menko Perekonomian, Boediono merancang dua kebijakan yang menjanjikan kebangkitan sektor riil serta koperasi dan UMKM (usaha menengah, kecil, dan mikro). Pada 2007, pemerintah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No.6/2007 untuk pemulihan sektor riil dan pengembangan UKM. Keppres ini terperinci, memuat 141 rencana tindak pemulihan sektor riil dan pengembangan puluhan ribu unit UKM. Juga untuk tujuan yang kurang-lebih sama, Boediono merancang Inpres No. 5/2008 tentang Fokus Program Ekonomi Tahun 2008-2009. Rancangan inpres ini rampung saat Boediono mengikuti fit and proper test untuk jabatan Gubernur BI. Inpres yang memuat rencana tindak atas inpres terdahulu (No. 6/2007) ini kemudian diumumkan oleh penggantinya, Sri Mulyani.

Kalau status sektor riil dan UMKM kita saat ini mati suri, itu pertanda dua inpres tersebut tidak implementatif. Berbagai kalangan menduga, Boediono tak bisa mengendalikan para menteri ekonomi, sehingga implementasi dua inpres itu tidak maksimal. Hingga Mei 2009 ini, iklim berusaha belum juga kondusif. Menurut BPS, Indeks Tendensi Bisnis pada triwulan I dan II 2009 masih di bawah 100, pertanda pemerintah belum bisa menumbuhkan optimisme di kalangan pebisnis.

Duet SBY-Boediono tampil ketika banyak orang sedang merasakan puncak resesi ekonomi. Karena tantangannya seperti itu, kita yakin SBY mempercayakan beban penanggulangan krisis ekonomi di pundak Boediono. Maka, kalau pasangan calon presiden-wakil presiden ini memenangi pemilihan presiden 2009, formasi kabinet mereka harus tangguh dan responsif. Katakanlah formasi kabinet yang efektif membentengi kepemimpinan dan kebijakan presiden. Dalam periode 2004-2009, peran membentengi kebijakan kabinet efektif dilakoni JK. Bahkan, dalam beberapa kasus kebijakan ekonomi, JK justru berperan seperti juru bicara pemerintah, dan terbukti sangat efektif. Itulah yang nantinya dibutuhkan oleh duet kepemimpinan SBY-Boediono.

Persoalannya sekarang, sebagian masyarakat sudah telanjur punya persepsi buruk tentang Boediono, sebagaimana bunyi spanduk dalam rangkaian unjuk rasa penolakannya sebagai calon wakil presiden. Mereka yang berunjuk rasa sudah mengetahui karier Boediono, dan bahwa dia tidak bisa dipisahkan dari kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) dengan segala implikasinya. Sebab, pada periode 1996-1998, Boediono menjabat Direktur Satu BI urusan analisis kredit. Dalam periode 1997-1998, dicairkan BLBI sebesar Rp 144,8 triliun untuk bank-bank swasta, dan Rp 267 triliun untuk bank BUMN.

Lalu, per 1998, dia menjabat Kepala Bappenas. Dalam periode itulah dicairkan dana rekap perbankan sebesar Rp 600 triliun. Tentu saja semua harus dikembalikan pada waktunya. Beban pengembalian itu, lagi-lagi, diletakkan di pundak rakyat, melalui APBN, yang setiap tahunnya harus dialokasikan Rp 80 triliun. Semuanya baru lunas pada tahun 2032. Periode 2001-2004 Boediono menjabat Menteri Keuangan. Pada era itulah terbit kebijakan privatisasi dan divestasi yang dikecam berbagai kalangan, karena tidak setuju terhadap penjualan dengan harga murah sejumlah aset strategis, antara lain saham Indosat dan BCA.

Banyak orang sampai sekarang masih jengkel, karena para obligor BLBI mendapat keringanan berupa release and discharge yang membebaskan mereka dari tuntutan hukum. Ketika menyampaikan pidato pencalonannya, Boediono mengakui tugas sebagai wapres penuh risiko. Tapi dia siap melakoninya.

Bambang Soesatyo, Ketua Komite Tetap Perdagangan Dalam Negeri Kadin, Koordinator Wilayah Jawa Tengah dan DIY DPP Partai Golkar

No comments:

Post a Comment