Saturday 30 May 2009

Kolom Kompas tentang Akar Neoliberalisme

Kolom Budiarto Shambazy di Kompas edisi 30 Mei menunjukkan kepada kita bagaimana mulanya penjajahan ekonomi melanda Indonesia sampai sekarang. LANJUTKAN ... Lanjutkan penjajahan ekonomi itu. Lanjutkan penjualan SDA yang murah, lanjutkan penjualan BUMN yang murah, lanjutkan penjualan harga diri dan masa depan bangsa


http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/05/30/0535314/quottempus.fugitquot

/Home/Bisnis & Keuangan/Analisis
KOLOM POLITIK-EKONOMI
"Tempus Fugit"
Tampak depan Museum Kebangkitan Nasional
Sabtu, 30 Mei 2009 | 05:35 WIB

Oleh BUDIARTO SHAMBAZY

KOMPAS.com - Bukan kebetulan Belanda pertama kali datang ke negeri ini melalui ”kompeni” bernama Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Sejak awal imperialisme, VOC mengincar kekayaan alam Indonesia yang berlimpah ruah dan bernilai ekonomis raksasa.

Indonesia adalah negara kepulauan yang eksistensinya diakui sebagai archipelagic state sesuai dengan UNCLOS 1982. Ini buah hasil Deklarasi Djuanda, merujuk pada nama PM Djuanda Kartawidjaja sebagai penggagasnya.

Alhasil, Indonesia sejak masa penjajahan sampai kapan pun merupakan negara dengan nilai strategis dan ekonomis teramat vital. Dan, sampai kapan pun, debat tentang sistem ekonomi yang cocok akan berlangsung.

Gerakan nasionalisme dipelopori Budi Utomo. Namun, tak lama kemudian, Sarikat Dagang Islam memulai prakarsa yang fokus pada ekonomi.

Kesadaran negara yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat makin tinggi setelah revolusi Rusia pecah. Sistem ekonomi eksklusif bagi kalangan borjuasi berakhir digantikan proletarianisme Uni Soviet.

Sejak itu kapitalisme Barat mendapatkan pesaing. Perang kapitalisme versus marxisme jadi salah satu agenda yang mewarnai persaingan Uni Soviet vs Amerika Serikat selama Perang Dingin, selain kompetisi ideologis dan militer.

Perang ini juga mewarnai perjuangan menuju kemerdekaan. Itu sebabnya, UUD 1945 dipersenjatai pasal 33 yang menyatakan semua kekayaan alam demi kesejahteraan rakyat. Satu sila Pancasila menyebut tujuan mencapai kesejahteraan rakyat adil dan makmur.

Oleh sebagian kalangan, Bung Karno dipandang sebagai presiden yang mempraktikkan ”politik sebagai panglima”. Namun, ia juga memulai Rencana Pembangunan Nasional (RPN) yang sudah mencapai tahap ketiga tahun 1961. Tahap pertama RPN bertujuan mencapai swasembada sandang pangan, tahap kedua memulai industrialisasi, dan pada tahap ketiga Bung Karno bertekad Indonesia ”lepas landas” sebagai negara industri.

Setelah pecah pemberontakan PRRI/Permesta akhir 1950-an serta Konfrontasi tahun 1963, republik tak punya dana pembangunan. Bung Karno adalah presiden pertama yang merundingkan ”program stabilisasi” dengan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk melanjutkan RPN.

Pak Harto melanjutkan RPN Bung Karno dengan Repelita. Ia menyempurnakannya lewat Trilogi Pembangunan dan memelihara hubungan harmonis dengan IMF serta perangkat Perjanjian Bretton Woods lainnya.

Tak bisa dimungkiri tujuan ekonomi dirusak korupsi. Itu sebabnya pada era Orde Baru beberapa kali muncul kritik terhadap ekonom pro-AS yang, misalnya, berujung pada Malari 1974.

Untuk memahami kegagalan pembangunan (underdevelopment) akibat korupsi, bacalah buku John Perkins, Confessions of An Economic Hit Man. Menurut dia, negara dan lembaga pemberi utang mematok sasaran menambah jumlah utang Dunia Ketiga.

Utang dimaksudkan agar dikorupsi elite Dunia Ketiga. Para pemberi utang paham Dunia Ketiga tak bakal mampu membayar utang yang menggunung.

Pada saat ngemplang, elite Dunia Ketiga dipaksa menjual murah sumber-sumber alamnya. Dan, yang paling diincar konsesi minyak, gas, serta tambang.

Kerja sama elite Dunia Ketiga dengan elite pemberi utang sering diulas Johan Galtung dengan teori center-periphery relationship tahun 1980-an. Kerja sama elite centers (pusat) dengan peripheries (pinggiran) menciptakan underdeve lopment.

Kesimpulannya, underdevelopment bukan tahap menuju industrialisasi/ lepas landas seperti yang didengungkan ideologi pembangunan. Ia imperialisme baru yang memiskinkan Dunia Ketiga.

Kritik terhadapnya dilontarkan para akademisi dengan teori dependencia (ketergantungan) yang spesifik mengambil berbagai kasus di Amerika Latin. Almarhum Sritua Arif menulis buku tentang ketergantungan Indonesia dari Barat.

Jika ada yang bertanya masihkah ekonomi kita tergantung, semua pasti menjawab iya. Maukah melepaskan diri dari ketergantungan itu, semua akan menjawab iya juga.

Dan, melepaskan diri dari ketergantungan bukan seperti membalikkan telapak tangan. Dunia tak lagi diatur Perjanjian Bretton Woods saja, tetapi ada pula free trade (belum tentu fair trade ), G-7, G-20, BRIC (Brasil, Rusia, India, dan China), bahkan APEC atau AFTA di sekitar kita.

Makin sukar membedakan mana yang imperialistis, kapitalistis, liberalis, atau komunis.

Ekonomi bukan cuma tentang uang, tetapi juga waktu. ”Waste your money and you're out of money, but waste your time and you have lost a part of your life”.

Mau debat, silakan. Namun, tempus fugit alias waktu terbang terlalu cepat.

No comments:

Post a Comment