Saturday 13 June 2009

Tsunami Aceh, JK, Pers, dan Mayat

Ini sisi lain dari tsunami Aceh. Presiden sedang ke Papua ketika bencana besar itu terjadi.


SumbeR: http://jusufkalla.kompasiana.com/2009/06/13/kisah-tsunami-aceh-fahmi-idris-yang-gaptek-dan-fatwa-darurat/#comment-2939
Kisah Tsunami Aceh :Fahmi Idris Yang GAPTEK Dan FATWA DARURAT
Oleh Jusuf Kalla - 13 Juni 2009 - Dibaca 141 Kali -

Saya mengetahui kejadian Tsunami di Aceh Desember 2004 Silam, tepat setengah jam setelah kejadian. Waktu itu saya sedang menghadiri acara Halal Bil Halal Masyarakat Aceh di Jakarta. Pada awalnya saya tidak berpikir kalau kejadiannya sedahsyat itu, yang mana jumlah korban mencapai sampai dengan 200 Ribu Orang. Pada awalnya saya berpikir korban hanya 10 ribu orang. Karena pada saat kejadian tidak ada pihak berwenang yang bisa dihubungi. Gubernurnya sendiri sedang beradadi Jakarta, karena berkasus.

Sementara di Jakarta, kurang pejabat yang berada di tempat. Presiden waktu itu sedang berkunjung ke Papua. Akhirnya saya sebagai wakil Presiden yang saat itu juga masih menjabat sebagai ketua BAKORNAS segera melakukan rapat. Hal pertama yang dilakukan adalah mengutus orang untuk mencari tahu apa yang terjadi di sana. Maka itu saya mengutus Menteri Perindustrian Fahmi Idris untuk melaporkan kondisi di sana. Saya suruh dia pakai pesawat saya, dan membekali telpon satelit mengingat infrastruktur telekomunikasi sudah luluh lantak di sana.

Hari pertama saudara Fahmi di sana, dia sama sekali tidak melapor. Saya sempat khawatir jangan-jangan sesuatu yang buruk menimpa dia. Entah itu pesawatnya crash landing, atau dia ditangkap sama GAM sudah macam-macam pikiran saya. Barulan nanti pada malam harinya dia menelepon saya melaporkan kondisi yang ada. Saya tanya dia kenapa baru menelepon? jawabnya : saya tidak tau caranya memakai telpon satelit, dari tadi siang saya mecoba untuk melapor cuman saya bingung bagaimana caranya pakai ini barang! . Saya mau marah, tapi saya merasa lucu juga.

Akhirnya setelah mendengar laporan kejadian sebenarnya dari Fahmi Idris, hari kedua saya berangkat menuju Banda Aceh. Ada dua hal penting yang saya lakukan pada saat awal tsunami, yakni mengeluarkan rekomendasi bahwa Aceh terbuka untuk Pers dan Membuat fatwa tentang penanganan korban yang meninggal.

jadi begini ceritanya, waktu saya di Hotel Medan, para wartawan mendatangi saya mereka bilang “pak Jusuf bagaimana ini, kami tidak dibolehkan masuk Aceh untuk meliput!” waktu itu saya berpikir “wah tidak bisa ini, info mengenai Aceh harus dibuka selebar-lebarnya, supaya seluruh dunia tahu apa yang terjadi di sana, dan bantuan internasional akan mengarahkan bantuannya ke Aceh, sebab waktu itu opini dunia mengatakan bahwa Aceh tidak begitu parah keadannya, ini karena kurangnya informasi. Maka dari itu di depan meja Resepsionis memakai kertas logo hotel saya menulis Instruksi kepada Pangdam Iskandar Muda :
“Sekarang Aceh terbuka untuk Pers dan Media -tertanda Wakil Presiden-” saya tanda tangani catatan tersebut dan suruh wartwan foto copy untuk dibagi ke rekan rekan mereka.

Hal lain yang saya lakukan waktu Tsunami Aceh adalah mengeluarkan Fatwa, tentang apakah korban meninggal itu harus dimandikan dulu, atau dibakar. Saat itu masyarakat bingung, karena tidak ada ulama, mereka juga menjadi korban, dan sebagian lagi sedang mengurus keluarganya. Akhirnya saya mengambil inisiatif karena waktu itu pangkat saya yang tertinggi, sebagai wakil Presiden saya mengeluarkan Fatwa, bahwa para korban meninggal bisa langsung dikubur tanpa harus dimandikan dan dikafani.

Jadi itulah sekelumit cerita yang tersisa dari Tsunami Aceh, selain tentunya cerita tentang kesedihan. Dan Alhamdulillah sekarang Aceh sudah jauh lebih maju, berbagai macam infrastruktur sudah dibangun, bahkan lebih bagus dari sebelumbya. Hal inilah yang saya amati ketika berkunjung ke Aceh, baru-baru ini.

Bagaimana Bangsa Ini Dijual kepada Amerika Serikat?

BILA Anda ingin tahu bagaimana Amerika Serikat mendikte bangsa ini lewat kaki tangannya pada pemerintahan SBY, ini adalah artikel yang menarik.
Makin jelas di sini siapa yang KKN, siapa yang bukan. Sebelum tertipu iklan kampanye di TV, sebaiknya Anda baca ini.




Sumber: http://public.kompasiana.com/2009/06/10/lompatan-mallarangeng-bersudara-2/

Lompatan Mallarangeng Bersaudara (2)
Oleh Rusdi Mathari - 10 Juni 2009 - Dibaca 3384 Kali -

Biar pun hanya sebagai staf ahli menteri, Rizal bahkan bisa memastikan pencopotan direksi Pertamina. Dia pula yang menjadi “wakil” Pertamina, berunding dengan ExxonMobil untuk mengurus pengelolaan Blok Cepu, ladang minyak dengan cadangan minyak terbesar di negeri ini. Hasilnya: Blok Cepu diserahkan ke ExxonMobil.

BERSAMA Lin Che Wei dan M. Ikhsan, Rizal tercatat pernah “mewakili” PT Pertamina untuk merundingkan Kontrak Kerja Sama Blok Cepu antara Pertamina dengan ExxonMobil Oil Indonesia. Perundingan mereka menghasilkan keputusan kontroversial yang mengejutkan banyak pihak, karena Blok Cepu kemudian benar-benar diserahkan kepada ExxonMobil dengan kontrak selama 30 tahun sejak Maret 2006. Perusahaan Amerika itu mengeksploitasi Blok Cepu lewat anak perusahaannya, Mobil Cepu Ltd.

Kontroversi itu terutama karena penyerahan Blok Cepu kepada ExxonMobil dinilai telah melanggar Undang-Undang No.22 Tahun 2001 tentang Migas. Keikutsertaan Rizal dkk. yang “mewakili” Pertamina dalam negosiasi itu, oleh Sony Keraf, anggota PDIP, bahkan disebut sebagai bentuk intervensi pemerintah yang berlebihan. Alasan Keraf penyerahan Blok Cepu kepada Exxon, tidak atau tanpa melalui RUPS sebagaimana diatur oleh UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN.

Mewakili suara PDIP, Keraf karena itu mencurigai ada campur tangan asing yang kuat melobi pemerintahan Yudhoyono. Hal itu tecermin dari kuatnya lobi-lobi pemerintah Amerika Serikat dan petinggi ExxonMobil terhadap pemerintah Indonesia (lihat “FPDIP: Akuisisi Blok Cepu oleh Exxon Melanggar Hukum,” detikcom, 4 Maret 2006).

Blok Cepu adalah ladang minyak yang berada di Cepu, Blora, Jawa Tengah. Itu adalah ladang minyak terbesar di Tanah Air, setidaknya hingga sekarang. Kandungan minyaknya tercatat melampaui cadangan minyak di Indonesia secara keseluruhan yang diperkirakan hanya berjumlah sekitar 9,7 miliar barel. Cadangan prospektif Blok Cepu di kedalaman kurang dari 1.700 meter misalnya, mencapai 1,1 miliar barel sedangkan cadangan potensial di kedalaman di atas 2.000 meter diperkirakan berjumlah 11 miliar barel.

Lembaga Minyak dan Gas atau Lemigas, sebuah lembaga studi yang menjadi bagian dari Akademi Minyak dan Gas, Cepu, pernah mengungkapkan, Banyu Urip, Sukowati, Jambaran dan Alas Tua- nama sumur-sumur di Blok Cepu- menyimpan kandungan minyak mentah hingga 1,4 miliar barel. Di Blok Cepu pula terdapat kandungan cadangan gas sebesar 8,772 triliun kaki kubik.

Dengan kekayaan sebesar itu, menurut studi Lemigas, pengelola ladang minyak Blok Cepu dapat mengangkat minyak mentah minimal sebesar 31 persen atau setara dengan 458,7 juta barel. Sedangkan untuk gas, yang bisa diangkat sebesar 72 persen.

Warsito, Research Scientist, The Ohio State University, yang juga Ketua Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia pernah mengungkapkan, awalnya ladang minyak itu diusahakan oleh PT Humpuss Patra Gas melalui technical assistance contract atau disingkat TAC dengan Pertamina. Karena alasan tidak memiliki pendanaan yang cukup untuk mengeksploitasi cadangan minyak di blok itu, Humpuss melepas 49 persen sahamnya kepada Ampolex. Penjualan saham itu terjadi menjelang keruntuhan Pemerintahan Soeharto pada tahun 1997.

Ampolex adalah perusahaan minyak yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh ExxonMobil. Ada pun ExxonMobil merupakan perusahaan gabungan Exxon dan Mobil, yang didirikan oleh John D Rockefeller, konglomerat minyak dari Amerika yang menguasai banyak tambang minyak di banyak negara.

Kontrak TAC Humpuss lalu berubah menjadi TAC plus karena melibatkan investor asing. Zuhdi Pane yang saat itu menjabat sebagai Kepala Badan Pengelolaan dan Pengawasan Kontraktor Asing Pertamina mengatakan, pelibatan investor asing dalam TAC sebetulnya tidak diperbolehkan menurut peraturan perundang-undangan. Namun karena pendekatan yang dilakukan kepada pemerintahan Soeharto, Ampolex berhasil diloloskan.

Diketahui belakangan seluruh saham Humpuss di Blok Cepu telah diambil sepenuhnya oleh Exxon, lagi-lagi melalui Ampolex. Perusahaan ini kemudian merger dengan Exxon menjadi ExxonMobil. Sejak itulah, pengelolaan Blok Cepu terus menjadi rebutan mereka.

Apalagi mulai 2010, pengelolaan atas Blok Cepu sudah harus diserahkan sepenuhnya kepada Pertamina 100 persen, menyusul berakhirnya kontrak perusahaan asing atas ladang minyak tersebut. Mengutip Petroleum Report 2003, yang dikeluarkan Kedutaan Besar Amerika, menurut Warsito penyerahan Blok Cepu kepada Pertamina itu sesuai dengan berlakunya UU Migas No. 22 tahun 2001, yang menyatakan TAC yang ada tidak bisa diperpanjang lagi.

Tentu saja ExxonMobil paham betul soal itu. Mereka karena itu menempuh berbagai upaya untuk mendekap Blok Cepu. Lalu lolosnya ExxonMobil mengelola Blok Cepu, menimbulkan spekulasi bahwa perusahaan itu telah melobi Washington agar menekan Jakarta untuk melakukan amendemen UUD 1945 yang menyangkut pasal-pasal pengelolaan kekayaan alam Indonesia. Sebuah spekulasi yang niscaya sulit diurai kejelasannya.

Mencopot Dirut
Hal yang lebih terang, karut-marut Blok Cepu akhirnya memakan korban dari Pertamina. Dia adalah Widya Purnama yang dicopot dari jabatan Direktur Utama Pertamina, sekitar sepekan sebelum Condoleezza Rice, Menteri Luar Negeri Amerika di zaman Presiden Bush berkunjung ke Jakarta, 14-15 Maret 2006. Widya adalah petinggi Pertamina yang ngotot menghendaki Blok Cepu dikembalikan ke Pertamina.

Dalam konferensi pers yang digelar Pertamina pertengahan Agustus 2005, Widya pernah mengungkapkan alasannya, mengapa Pertamina harus mengelola Blok Cepu. Selain sesuai undang-undang, kata dia, hal itu sesuai perintah RUPS 30 Juni 2005. Rapat yang dicatatkan pada notaris itu antara lain memutuskan pembagian saham 55 persen untuk Pertamina dan pemerintah daerah. Sisanya untuk Mobil Cepu Ltd. (ExxonMobil) dan Ampolex.

Keputusan RUPS kata Widya adalah keputusan tertinggi untuk Pertamina. Sedangkan memorandum of understanding, MoU, yang menyebutkan pemberian saham ke pemerintah daerah merupakan hal yang tidak mengikat. Pertamina karena itu, menurut Widya hanya tunduk pada hasil RUPS dan bukan pada MoU.

Tak lupa Widya mengatakan, Pertamina harus menjadi tuan rumah di negara sendiri. Selain sudah berpengalaman 48 tahun, pengerjaan Blok Cepu oleh Pertamina menurut Widya lebih mudah karena hanya menunggu untuk dibor. Ongkosnya juga dinilai lebih murah dan tak perlu repot mendatangkan dari Amerika seperti yang (akan) dilakukan oleh ExxonMobil. Tahap awal, kata Widya, Pertamina sudah menyiapkan US$ 100 juta. Singkat kata, Pertamina sudah bisa full on stream.

Rizal sebagai “wakil” Pertamina, tentu saja bereaksi keras untuk tak menyebut bereaksi sangat kasar dengan sikap Widya. Menanggapi rencana Widya soal pembagian saham pengelolaan Blok Cepu, misalnya, Rizal berkata, “Emang punya bapak moyangnya apa?”

Widya akan tetapi bergeming. Sikapnya itulah yang lantas membuat gerah orang dalam di pemerintahan Yudhoyono. Karena dianggap sebagai “duri” dalam daging yang bisa mengoyak hubungan Jakarta-Washington, muncul manuver untuk merongrong kedudukan Widya sebagai Direktur Utama Pertamina . Pada masa Aburizal Bakrie (Ical) masih menjabat Menteri Perekonomian Widya lantas dijadikan semacam musuh bersama.

Upaya untuk menggoyang kursi Widya itu antara lain dilakukan melalui penggiringan opini bahwa Widya merupakan sosok yang tak becus melakukan perbaikan di tubuh Pertamina. Pertamina di tangan Widya juga dianggap jalan di tempat.

Tak lupa, ketidakberesan distribusi yang menyebabkan kelangkaan minyak di beberapa daerah dan ketidakberdayaan Pertamina meningkatkan produksi minyak juga ditimpakan sebagai kesalahan Widya. Majalah Gatra, edisi Nomor 18, Senin 13 Maret 2006 menulis, persoalan ketidakberdayaan Pertamina, sebelumnya sudah sering dinyatakan Sugiharto, yang saat itu menjabat sebagai Meneg BUMN.

Dengan sodokan dan tekanan yang bertubi-tubi itu, pencopotan Widya niscaya hanya tinggal menunggu waktu. Yudhoyono yang dianggap dekat dengan Widya, kemudian benar-benar memberi isyarat untuk menganti Widya. Sinyal itu dilontarkan Yudhoyono saat dia berkunjung ke Myanmar. “Tiba saatnya Pertamina di-overhaul,” kata Pak Presiden.

Lalu inilah yang terjadi selanjutnya: seseorang yang hanya menjabat staf ahli menteri semacam Rizal bisa memastikan, Widya akan segera dicopot Direktur Utama Pertamina. Kata Rizal pencopotan itu akan dilakukan sebelum penandatanganan kontrak kerja sama dengan ExxonMobil dilakukan September 2006.

Dan simsalabim adakadabra….Rabu 8 Maret 2006 Widya benar-benar dicopot meski pencopotnya didahului dengan pencopotan Ical sebagai Menko Perekonomian. Widya digantikan oleh Ari H. Sumarno, sosok yang dianggap lebih bisa diajak bekerja sama memuluskan persoalan Blok Cepu. Namun belakangan Ari pun dicopot dan digantikan oleh Karen Agustiawan, 5 Februari silam.

Entah kebetulan atau tidak, pencopotan Ari sebagai Dirut Pertamina itu juga berlangsung sepekan sebelum Hillary Clinton, Menteri Luar Negeri Amerika, memulai kunjungannya ke Indonesia, 18 Februari 2009. Lalu hari ini, Rabu 10 Juni 2009, Karen juga dikabarkan telah mengajukan surat pengunduran diri sebagai Direktur Utama Pertamina. Situs detikcom menyebutkan, Karen tak tahan karena dirongrong oleh salah satu kandidat presiden yang memintanya, agar Pertamina ikut menyumbang dana untuk kampanye mereka.

38 Presiden
Antara lain berkat “jasa” Rizal dkk., Blok Cepu kini sudah sepenuhnya di tangan ExxonMobil. Dalam sebuah kesempatan Rizal pernah menuturkan, Blok Cepu di tangan ExxonMobil akan lebih efisien karena perusahaan Amerika itu memiliki tools di bidang modal dan teknologi.

Mengutip majalah Time edisi 19 Mei 2003 Warsito menyebutkan, selama lebih dari setengah abad, politik luar negeri Amerika yang berkaitan dengan minyak, secara tipikal selalu manipulatif atau menyeleweng. Pola intrik yang dilancarkan pemerintahan Abang Sam itu dilakukan sejak dari penulisan undang-undang secara rahasia hingga bentuk pelengseran sebuah pemerintahan yang mempunyai tingkat kebebasan terlalu tinggi menangani penjualan minyaknya. Lalu menurut Marshall Douglas Smith, sebanyak 38 presiden Amerika terakhir seluruhnya adalah orang Standard Oil kecuali satu, Jimmy Carter.

Menurut Warsito, kontroversi Blok Cepu bukanlah pengecualian dari bentuk pola bisnis yang dikembangkan oleh ExxonMobil. Dia mengatakan, sungguh ironis, para pemimpin nasional Indonesia telah menolak penguasaan Blok Cepu oleh bangsanya sendiri.

Tulisan ini juga bisa dibaca di Rusdi GobLog.

Tags: Aburizal Bakrie, Andi, Ari Sumarno, blok Cepu, bumn, capres, Celli, Choel, Exxon, Gas, Humpuss, Karen Agustiawan, Lemigas, Lin Che Wei, Mallarangeng, Minyak, PDIP, pemilu, pertamina, Rizal, sby, Sugiharto, Tambang, Widya Purnama, Yudhoyono, Zulkarnain

JK, SBY, dan Aceh

JK, SBY, dan Aceh

BAGI pendukung calon presiden tertentu yang sebegitu hebatnya dukungan itu sehingga langsung fanatik hanya karena pencitraan, tulisan ini sangat tidak pas untuk Anda.
Tulisan ini dimaksudkan untuk mengungkapkan satu sisi kepemimpinan, yang barangkali saja, berguna untuk bangsa ini.

Suatu waktu, saya lupa tahun berapa (tapi kira2 dua tahun lalu), Jusuf Kalla duduk di ruang tamu rumahnya di Jl Haji Bau, Makassar. Di sini JK selalu menginap kalau pulang kampung. Ada Hotel Sahid, hotel bintang lima miliknya bersama Sahid Group, tapi ia lebih senang menginap di sini.
Ruang tamu rumah itu kira-kira berukuran 5x5 meter, dengan kursi-kursi tamu yang sering kita jumpai di rumah tipe menengah. Tidak tampak kesan mewah di rumah berlantai satu itu. Bila ke Makassar, Anda mungkin tidak percaya bahwa rumah di tepi Jl Haji Bau adalah rumah wakil presiden, rumah seorang konglomerat dengan kekayaan lebih Rp 300 miliar, rumah seorang pengusaha yang mewarisi kekayaan sejak tahun 1960-an, rumah pembayar pajak (perorangan maupun badan hukum) terbesar di seantero Indonesia timur sejak tahun 1990-an sampai sekarang.
Duduk di ruang tamu, JK terlihat santai seperti biasa dengan baju lengan panjang kegemarannya yang digulung. Di kantongnya ada pulpen merek Pilot, juga kegemarannya.
Pintu depan dan belakang rumah terbuka lebar sehinga udara bebas ke luar masuk. Tidak ada AC (atau mungkin tidak di-on-kan). Sempat ke belakang, terlihat daun pintu rumah mulai terkelupas. Tulang-tulang pintu sudah di makan rayap.
Kepada beberapa orang, JK mengemukakan kegelisahannya. Ia bercerita mengenai derasnya kritik mengenai idenya (yang kemudian dilaksanakan depdiknas) untuk menerapkan standar kelulusan di SD, SMP, dan SMA. Protes itu begitu kerasnya, sampai-sampai pernah, suatu waktu, tiga artikel di halaman opini Kompas hanya berisi kritik mengenai gagasan itu.
Berbagai demonstrasi digelar. Intinya, menolak standardisasi kelulusan. Kira2, pemrotes menghendaki tidak perlu standar. Toh kualitas lulusan tidak ditentukan oleh nilai-nilai di atas kertas. Argumentasi ini diperkuat ketika juara Olimpiade Fisika atau Olimpiade tidak lulus ujian.
Mendapat protes seperti itu, JK, seperti biasa tidak peduli. ”Kapan bangsa ini maju kalau kita tidak memiliki standar kelulusan,” katanya.
Konon ada survei kecil-kecilan, mutu pendidikan kita setingkat di bawah Singapura. Mutu lulusan TK di sana kira2 sama dengan SD di Indonesia. Begitu seterusnya, lulusan SD Singapura sama dengan lulusan SMP di Indonesia, SMP=SMA, SMA=PT. Lulusan S2 kita sama saja dengan kualitas lulusan S1 di sana, dan akhirnya, lulusan S3 di Indonesia di sana cuma S2.
Bila ini dibiarkan terus, JK yakin, bangsa ini akan tertinggal terus. Kaum profesional Singapura akan menyerbu Indonesia, sementara Indonesia hanya akan sanggup mengekspor babu, mengekspor TKI. Bila pendidikan tidak dibenahi, bangsa ini akan jadi bangsa babu terus menerus. Pergilah ke luar negeri dan Anda akan tahu bahwa bangsa ini hanya dikenal sebagai bangsa babu, selain sebagai sarangnya teroris.
Karena itulah, JK tetap pada pendiriannya. Ia tampil di depan membela gagasan-gagasannya, sementara Mendiknas ketika itu entah ada di mana. Presiden juga saya tidak tahu sedang merias diri di mana.

Itulah JK. Ia memiliki visi membangun bangsa ini, dan ia tahu caranya bagaimana. Bahwa ada risiko tidak populer di sana, JK tidak peduli. Ide besar untuk membawa bangsa ini bermartabat tidak boleh dikalahkan, katakanlah, oleh hanya ancaman kehilangan popularitas.
Saya juga ingat bahwa JK, melalui Partai Golkar, paling getol mendorong amanat MPR untuk menaikkan anggaran pendidikan 20 persen. Sebagai partai besar, Golkar tidak saja menjadi jembatan efektif ide pemerintah di DPR, malinkan juga sering menjadi ”bumper”.
Sekarang, kita tahu, ada partai tertentu, atau bahkan ada calon presiden tertentu, yang mengklaim prestasi yang populis itu sebagai ”hasil kerja pemerintah”. Saya, yang tahu cerita ini, hanya tertawa-tawa saja. Itulah enaknya kita hidup di Indonesia, yang rakyatnya gampang sekali dibohongi oleh iklan TV.
Sedikit demi sedikit, JK mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi, setidak-tidaknya menurut versi dia sendiri. Buat saya, ini penting agar bangsa ini belajar dan mengambil hikmah. Semoga semua itu berguna untuk bangsa, untuk kesejahteraan rakyat.
Kalaulah JK kemudian kalah, setidaknya bangsa ini akan belajar bahwa di negeri ini, tidak penting hanya bekerja saja. Bahkan yang jauh lebih penting justru bukan bekerja, melainkan membangun pencitraan.
Saya terkesan dengan tulisan Sofjan Wanandi di Kompas yang mengungkapkan bagaimana posisi seorang capres dalam kasus Ahmadiyah. Protes bermunculan mengenai Ahmadiyah dari hampir semua organisasi Islam, tak terkecuali NU dan Muhammadiyah. Sebaliknya, ada juga yang mendukung Ahmadiyah dari sisi hak asasi.
Apa yang dilakukan capres itu adalah tidak mengambil keputusan apapun. Itu dilakukan bukan untuk menyelesaikan masalah, melainkan menghindarinya demi popularitas, demi pencitraan.
Di Banda Aceh hari Sabtu (12/6), JK mengungkapkan satu cerita mengenai proses perdamaian di Aceh. Di sana terungkap bagaimana kualitas kepemimpinan seorang calon presiden.
Dengan nada agak tinggi, JK mengatakan, "Coba periksa, tidak ada tanda tangan siapa pun kecuali tanda tangan saya di dalam perjanjian perdamaian Helsinki itu. Saya pernah minta untuk ditandatangani soal pendirian partai lokal, akan tetapi presiden tidak mau. Akhirnya, saya yang menandatangani dengan segala risiko setelah 10 kali membacakan Surat Yassin bersama istri saya."
Seperti dilaporkan kompas.com. Ya.Ampun....JK.Telanjangi.SBY, JK mengungkapkan pernyataan itu dalam kampanye dialogis di hadapan sekitar 1.000 pendukung dan kader Partai Golkar di gedung Sarana Kebudayaan Anjung Monmata di Jalan SA Mahmudsyah, Banda Aceh, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
Ketika itu, setelah bersusah payah bahkan dana dari kantongnya sendiri, JK menemui jalan buntu dalam proses perundingan ketika GAM bersikeras memasukan klausul pendirian partai lokal sebagai prasayarat menuju perdamaian Aceh.
Kita tahu, pendirian partai lokal bertentangan dengan UU Partai Politik maupun UU Pemilu. Presiden tidak menandatangani klausul itu, dan JK menunjukkan kualitas kepemimpinannya sebagai seorang pemimpin, yakni keberanian mengambil risiko.
JK mengambil risiko karena meyakini, tanpa perdamaian, rakyat Aceh dan TNI akan terus menjadi tumbal dan Aceh akan terus dicabik-cabik konflik yang taruhannya bisa saja seperti kasus Timor Timur: Aceh akan lepas dari NKRI.
Bila Aceh pisah dari Indonesia, JK akan mempermalukan seluruh warga Sulawesi Selatan. Dulu Timor Timur pisah dari Indonesia karena Habibie.
JK mengambil risiko itu ketika yang lainnya tidak ada yang bersedia. Dan, sekarang, ketika Aceh sudah damai, Golkar, partai yang dipimpin JK, malah kalah di Aceh, dan ada orang yang masuk 100 tokoh berpengaruh versi Time, dan ada juga orang yang mengharapkan Nobel Perdamaian.
Kompas.com juga melansir JK yang menyatakan soal presiden yang disebutnya hanya manggut-manggut saat dilapori soal perkembangan perundingan damai Aceh. "Semua yang saya lakukan terkait perundingan damai Aceh itu, sepengetahuan Presiden. Dan, itu saya laporkan. Waktu saya laporkan, beliau biasanya manggut-manggut. Pemimpin itu cukup mengangguk-angguk saja. Presiden kita bagus karena tidak pernah menolak, meskipun juga tidak pernah memberikan pengarahan (soal perundingan)," ungkap Kalla.
Kalla selanjutnya juga menceritakan peranan SBY di kala pemberlakuan Darurat Sipil di Aceh. Sebaliknya, ia juga seperti mengklarifikasi siapa yang menandatangani Darurat Sipil di Aceh pada waktu itu. "Bukan kami (yang keluarkan). Kami waktu itu Menko Kesra. Ada teman saya yang meneken darurat sipil waktu itu. Kalau Pak Wiranto (pasangannya sebagai cawapres), justru yang mencabut Daerah Operasi Militer (DOM), dan minta maaf atas Aceh," lanjut Kalla.
Darurat sipil, kita tahu, adalah payung hukum bagi militer untuk melancarkan perang di negerinya sendiri. Banyak orang yang berlumuran darah setelah itu, di pihak rakyat maupun TNI. Hebatnya lagi, orang itulah yang mengharapkan Nobel Perdamaian.
Soal Nobel Perdamaian itu juga dilaporkan kompas.com. JK juga menyinggung tentang hadiah nobel yang diharapkan seseorang terkait dengan perundingan damai di Aceh. "Hadiah yang tertinggi dari perundingan damai itu adalah yang datang dari Allah SWT. Bukan nobel. Tidak tahu, kalau ada orang yang mengharapkan hadiah nobel itu," ungkap JK.
Kekuatan kepemimpinan JK, menurut saya, adalah kemampuannya melihat masalah secara berbeda dan menemukan solusi yang berbeda.
Dalam konflik Aceh, seperti juga kasus Poso dan Ambon, militer dan birokrasi kita selalu melihat masalahnya sebagai politik dan ancaman disintegrasi. Lalu seluruh dana, personel, dan energi dikerahkan untuk itu –hal yang terbukti tidak pernah menyelesaikan masalah. Kita lihat dalam ancaman disintegrasi di Papua, pendekatan yang sama dilakukan dan masalahnya tidak selesai sampai hari ini.
JK melihatnya dari sudut yang berbeda. Sebagai seorang pengusaha yang senantiasa bekerja dengan rencana kerja terukur, JK melihat masalahnya adalah masalah ekonomi, masalah ketidakadilan. Dari sana ia mengurai benang kusut konflik Aceh dan terbukti manjur sampai hari ini.
Rekan dia di pemerintahan, yang terbiasa dengan cara berpikir lama, merumuskan solusi darurat sipil sebagai obat untuk Aceh. Terbukti selama bertahun-tahun, obat itu tidak pernah manjur. Malah yang terjadi adalah kisah pembunuhan yang satu ke pembunuhan yang lainnya.
Saya sadar, dengan menulis posting ini, ada yang tidak setuju, bahkan marah. Mohon maaf untuk itu. Bila posting ini tidak berguna, lupakan saja.
Kita ingin juga mendengar bagaimana versinya Pak SBY. Ini akan semakin melengkapi pemahaman kita tentang apa sesungguhnya yang terjadi dengan proses perdamaian di Aceh.

Friday 12 June 2009

Boediono Neolib didemo Mahasiswa

Ini orang yang berperan besar mengucurkan BLBI lebih dari 100 triliun. Sekarang berlagak seperti pembela rakyat. Padahal aslinya pembela paling depan dari konglomerat-konglomerat maling.

Ini orang yang membebaskan sumber daya alam kita dikuras asing atas nama liberalisasi. Produk rotan yang tadinya hanya boleh diekspor setengah jadi, di tangan dia, boleh diekspor mentah. Akhirnya industri kecil dalam negeri yang mengandalkan rotan sebagai bahan baku kesulitan bersaing dengan perusahaan asing. Lalu sekarang ia datang berkampanye dengan dalih membela rakyat kecil.

Ini orang yang mendorong liberalisasi pendidikan. Lalu pendidikan asing boleh masuk dan agar bisa bersaing, perguruan tinggi negeri harus dicabut subsidinya. Lahirlah UU BHP.

Tapi di iklan televisi, kita lihat orang ini sangat santun, baik hati, selalu tersenyum. Ia mengkritik orang yang melakukan KKN. Sepertinya ia seorang pahlawan. Dan ketika mahasiswa-mahasiswa itu melancarkan protes, mereka ditangkapi polisi.





http://pemilu.detiknews.com/read/2009/06/13/124608/1147278/700/tolak-kedatangan-boediono-di-yogya-belasan-mahasiswa-ditangkap
Sabtu, 13/06/2009 12:46 WIB

Tolak Kedatangan Boediono di Yogya, Belasan Mahasiswa Ditangkap
Bagus Kurniawan - detikPemilu


Yogyakarta - Belasan mahasiswa Yogyakarta tergabung dalam Aliansi Mahasiswa dan Rakyat untuk Kemandirian Bangsa (AMRKB) menggelar aksi menolak kedatangan calon wakil presiden (cawapres) Boediono di Yogyakarta. Namun baru lima menit beraksi, mahasiswa sudah keburu ditangkap polisi dan langsung di angkut ke Mapolres
Bantul.

Aksi digelar itu untuk menolak kedatangan Boediono yang tengah menghadiri acara diskusi publik dan peresmian mobil perpustakaan Kebangsaan di Gedung Jogja Expo Center (JEC) di Jl Janti, Sabtu (13/6/2009).

Mahasiswa menggelar orasi di pintu gerbang JEC. Mereka pun langsung membentangkan poster yang dibawa. Beberapa poster di antaranya bertuliskan 'Tolak Neoliberalisme', 'Boediono Antek Neolib', 'Tolak Hegemoni Asing', 'Say No To Neoliberalisme', dan 'Lawan Antek Antek Asing."

Namun ketika akan memasuki pintu gerbang, puluhan aparat Polres Bantul langsung mengepungnya. Kompol Franky Yusandi dari Polres Bantul langsung menanyakan surat izin aksi yang dilakukan massa AMRKB. Namun mereka tidak mempunyai surat izin dan ngotot tetap akan menggelar aksinya.

Saat didesak untuk bubar mahasiswa menolak. Mereka kemudian menyanyikan lagu Darah Juang. Belum bait lagu itu dinyanyikan, massa yang sudah dikepung aparat langsung didesak dan ditangkap untuk di masukkan ke dalam truk. Poster-poster yang dibawa juga disita petugas.

"Masukkan ke dalam truk, masukkan ke dalam truk," teriak salah seorang anggota polisi sambil mengejar beberapa orang mahasiswa yang akan melarikan diri.

Karena kalah banyak, mahasiswa pun tak kuasa dan akhirnya dimasukkan ke dalam truk untuk di bawa ke Mapolres Bantul. Meski sudah di dalam truk, mahasiswa tetap melakukan orasi.

Mereka menyatakan menolak capres dan cawapres yang pro asing atau neoliberalisme. "Capres dan cawapres semuanya antek-antek asing yang akan menjual negeri ini. Dan kami menolak mereka untuk pilpres 8 Juli nanti," teriak salah satu peserta yang ditangkap.

Kompol Franky Yusandi kepada wartawan mengatakan aksi demo itu tidak berizin sehingga pihaknya berhak untuk membubarkan dan mengamankannya. "Tidak ada izinnya," jawab dia singkat.

( bgs / djo )

Peran JK dan Posisi SBY dalam Proses Perdamaian Aceh

Ketahuan sudah posisi dan peran SBY dalam proses perdamaian Aceh:
1. Menolak menandatangani pendirian partai lokal Aceh
2. Menerapkan DOM (daerah operasi militer) yang menelan begitu banyak korban jiwa
3. Tidak pernah memberikan arahan kepada Jusuf Kalla, hanya manggut-manggut saja
4. Luar biasanya: tidak berbuat apa-apa, menandatangani DOM yang berdarah itu, malah bermimpi dapat Nobel Perdamaian gara-gara perdamaian Aceh.

Sedikit demi sedikit topeng mulai terbuka. Bikin pencitraan lagi ya...



http://nasional.kompas.com/read/xml/2009/06/13/1258380/Ya.Ampun....JK.Telanjangi.SBY


Sabtu, 13 Juni 2009 | 12:58 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Suhartono

BANDA ACEH, KOMPAS.com — Calon Presiden Muhammad Jusuf Kalla, yang juga Wakil Presiden RI, "menelanjangi" peranan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, baik di saat perundingan damai Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), maupun di masa sebelumnya saat menjadi Menko Politik dan Keamanan.

Dalam kampanye dialogis di hadapan sekitar 1.000 pendukung dan kader Partai Golkar di gedung Sarana Kebudayaan Anjung Monmata di Jalan SA Mahmudsyah, Banda Aceh, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Sabtu (13/6) siang tadi, tanpa menyebut dan juga menyebut "presiden" atau "pemimpin" saja, Kalla menceritakan hal itu dengan gamblang tentang peranan Presiden SBY.

Meskipun tanpa menyebut nama, publik bisa mengetahui siapa yang dimaksud oleh Kalla. Saat Kalla memaparkan tanpa menyebut nama, tetapi hanya menyebut "pemimpin" dan "presiden", Kalla menggambarkan penolakan presiden untuk menandatangani setiap masalah yang dirundingkan dalam perdamaian damai, seperti soal pendirian partai lokal.

"Coba periksa, tidak ada tanda tangan siapa pun kecuali tanda tangan saya di dalam perjanjian perdamaian Helsinki itu. Saya pernah minta untuk ditandatangani soal pendirian partai lokal, akan tetapi presiden tidak mau. Akhirnya, saya yang menandatangani dengan segala risiko setelah 10 kali membacakan Surat Yassin bersama istri saya," ungkapnya.

Kemudian, Kalla juga menyatakan soal presiden yang disebutnya hanya manggut-manggut saat dilapori soal perkembangan perundingan damai Aceh. "Semua yang saya lakukan terkait perundingan damai Aceh itu, sepengetahuan Presiden. Dan, itu saya laporkan. Waktu saya laporkan, beliau biasanya manggut-manggut. Pemimpin itu cukup mengangguk-angguk saja. Presiden kita bagus karena tidak pernah menolak, meskipun juga tidak pernah memberikan pengarahan (soal perundingan)," ungkap Kalla.

Kalla selanjutnya juga menceritakan peranan SBY di kala pemberlakuan Darurat Sipil di Aceh. Sebaliknya, ia juga seperti mengklarifikasi siapa yang menandatangani Darurat Sipil di Aceh pada waktu itu. "Bukan kami (yang keluarkan). Kami waktu itu Menko Kesra. Ada teman saya yang meneken darurat sipil waktu itu. Kalau Pak Wiranto (pasangannya sebagai cawapres), justru yang mencabut Daerah Operasi Militer (DOM), dan minta maaf atas Aceh," lanjut Kalla.

Pada bagian lain, Kalla juga menyinggung tentang hadiah nobel yang diharapkan seseorang terkait dengan perundingan damai di Aceh. "Hadiah yang tertinggi dari perundingan damai itu adalah yang datang dari Allah SWT. Bukan nobel. Tidak tahu, kalau ada orang yang mengharapkan hadiah nobel itu," demikian dikatakan Kalla.

Saturday 6 June 2009

Istana Presiden SBY, BLBI, dan Kontroversinya

Presiden SBY menerima tiga koruptor BLBI di Istana Negara, 6 Februari 2006. Yang antar waktu itu adalah Kapolri Sutanto, kini tim sukses SBY.

Ketika itu menuai kontroversi karena para pengambil uang negara itu bukannya dihukum, malah dibawa ke Istana.

Sutanto member keterangan bahwa mereka beritikad baik mengembalikan utangnya. Mana realisasinya?

Beberapa nama di sini dikutip mengecam pemerintah. Mereka sekarang malah mendukung SBY. Aneh juga! Atau kita memang cepat lupa.

Berikut adalah liputan media dan komentar serta analisis mengenai masalah tersebut.

Sumber: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=136527

Masalah BLBI: Kongkalikong Pengemplang?
Oleh Ismail Saleh


Jumat, 24 Februari 2006
Berbagai media massa telah memuat komentar atau tulisan mengenai masalah BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Dasar di tengah masyarakat kita ada yang suka membuat plesetan, singkatan BLBI pun diplesetkan menjadi "Bingung Lalu Bergegas ke Istana" atau "Belum Lunas Bermunculan di Istana". Mungkin sebagian dari para debitor mengira atau berharap kalau pergi ke Istana berarti semua urusan menjadi beres?

Lha, kok enak banget! Tetapi, ya itu tadi, masyarakat sudah telanjur sinis terhadap jalannya penegakan hukum. Akibatnya, arti kata "hakim" pun diplesetkan menjadi "Hubungi Aku Kalau Ingin Menang" dan KUHP merupakan plesetan dari "Kasih Uang Habis Perkara".

Bersyukurlah bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) berpendapat bahwa semua urusan yang berkaitan dengan pemunculan sebagian dari debitor bermasalah BLBI di Kantor Kepresidenan (Istana Negara) harus diselesaikan sesuai aturan dan prosedur yang berlaku. Tindak lanjutnya adalah hasil kesepakatan antara Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, Jaksa Agung dan Kapolri yang memberikan tenggang waktu (bukan tenggat waktu) kepada para debitor untuk menyelesaikan utangnya sampai akhir tahun 2006.

Ini menunjukan bahwa Presiden SBY mengutamakan penyelesaian secara institusional dengan berdasarkan prinsip koordinatif, integratif, sinkronisatif dan simplikatif atau disingkat KISS. Ini sekaligus untuk menghindari KISS dalam arti lain, yaitu "Kita Ini Simpang Siur" atau "Ke Istana Sendiri-Sendiri". Kesepakatan itu sangat penting untuk mencegah pemunculan atau dihidupkannya kembali Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) jilid dua.

Namun, suara tegas keluar dari Kejaksaan Agung untuk tetap memroses konglomerat pengemplang BLBI sesuai hukum yang berlaku. Konglomerat yang terkait kasus BLBI tidak bisa bebas dari jerat hukum. Seluruh rakyat Indonesia pasti setuju dan mendukung tindakan tegas Jaksa Agung.

Istilah "pengemplang dan pembangkang kredit macet" pernah dimuat di Harian Kompas, 27 Juli 1993 dan Harian Republika, 30 Maret 1994. Sebelumnya, Ketua Mahkamah Agung Purwoto Ganda Subrata (sudah almarhum) berpendapat, lembaga penyanderaan (gyzeling) dapat diberlakukan terhadap penunggak kredit macet yang tergolong mampu dan masih mempunyai kekayaan. Hanya saja, prosedur penyanderaannya diatur supaya adil menurut hukum. (Kompas 2 Juli 1993).

Dengan demikian, kita dapat menegakkan kewibawaan para penegak hukum. Di samping lembaga penyanderaan (gyzeling), dapat dipertimbangkan pula lembaga paksa badan (lyfsdwang) secara eksepsional dan selektif terhadap debitor yang sengaja merugikan rakyat dan masyarakat.

Saya tidak mengetahui apakah di antara para debitor BLBI, ada juga yang menunggak pajak. Hasil kesepakatan Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, Jaksa Agung dan Kapolri mungkin juga menemukan bahwa di antara para debitor bermasalah ada yang masih menunggak pajak?

Apabila terdapat juga debitor yang masih mempunyai utang dalam bentuk pajak yang belum dibayar lunas, maka dapat dipertimbangkan penggunaan penyanderaan. Dalam arti, berupa "pengekangan sementara waktu (bagi) kebebasan penanggung pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu".

Penyanderaan merupakan upaya terakhir dalam penagihan pajak yang dilakukan dengan surat paksa. Untuk dapat dikenakan ketentuan mengenai penyanderaan, harus dipenuhi 2 (dua) syarat, yaitu syarat kuantitatif dan syarat kualitatif.

Syarat kuantitatif adalah mempunyai utang pajak sekurang-kurangnya Rp 100 juta, berarti penyanderaan tidak ditujukan kepada penanggung pajak yang berpenghasilan kecil. Sedangkan syarat kualitatif, apabila penanggung pajak diragukan iktikad baiknya untuk melunasi utang pajaknya, misalnya diduga menyembunyikan harta kekayaannya atau terdapat dugaan kuat penanggung pajak melarikan diri.

Surat paksa tersebut merupakan kekuatan bukti lengkap dan kekuatan bukti memaksa serta mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Kalau penanggung utang dalam kasus PUPN (Panitia Urusan Piutang Negara) vide Pasal 10 UU 49/Prp 1960 ada yang disebut sebagai "debitor nakal", maka dalam urusan pajak bisa saja ada sebutan "penanggung pajak nakal". Ada predikat lain yang dapat dipakai bagi para penanggung pajak dan penunggak pajak yang pajaknya sudah ditagih berkali-kali tetapi sama sekali tidak digubris, tidak berusaha keras untuk melunasi tagihan pajaknya yang tidak jujur, padahal harta kekayaannya mendukung untuk membayar lunas pajaknya.

Bagi golongan tersebut dapat diberi predikat pengemplang dan pembangkang. Para penanggung pajak dengan kategori pengemplang dan pembangkang yang masih gentayangan, berlagak pura-pura, punya berbagai macam akal bulus untuk mengelus-elus pejabat, bermuka tebal dan berkulit badak. Mereka itulah yang sesungguhnya tidak berperikemanusiaan dan tidak beradab. Tidak tertutup kemungkinan dalam kasus BLBI terdapat pula debitor pengemplang dan pembangkang. Kita tunggu saja hasil Kesepakatan Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, Jaksa Agung, dan Kapolri sampai akhir tahun 2006!

Jika ternyata para debitor memperoleh kredit dari bank yang dananya diperoleh dari masyarakat atau dari orang-orang yang punya kesadaran menabung, maka jika ada debitor yang terbukti menyalahgunakan "uang rakyat" tersebut, bahkan tidak berniat mengembalikan pinjaman yang sebenarnya milik rakyat, maka kita kembalikan saja pada tekad Jaksa Agung untuk tetap memroses konglomerat pengemplang itu sesuai hukum yang berlaku. ***

Penulis adalah mantan Jaksa Agung
dan mantan Menteri Kehakiman.


Sumber: http://www.rakyatmerdeka.co.id/situsberita/index.php?pilih=lihat_edisi_website&id=7048

SBY Minta Pengemplang Uang BLBI Tidak Diperas
Sabtu, 28 Januari 2006, 05:29:26 WIB

Koruptor Dari Singapura Datang Dengan Kursi Roda

Jakarta, Rakyat Merdeka. Kapolri Jenderal Sutanto kem­bali mencokok koruptor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Atang Latief alias Lao Chen Ho di Singapura. Komisaris Utama Bank Indonesia Raya (Bira) yang diduga ngemplang duit Rp 170 miliar dan sejak 2000 lalu ngendon di Singapura itu, kini sudah berada di Tanah Air dan dirawat di rumah sakit yang dira­ha­siakan.

Atang menjadi buruan penegak hukum se­telah namanya tercantum dalam laporan data re­ka­pitulasi Bank Indonesia (BI) sebagai pe­nik­mat BLBI Rp 325 miliar pada Bank Bira. N­a­mun Atang sempat mengembalikan Rp 155 mi­liar. “Jadi dia nunggak Rp 170 miliar,” tan­das­nya.

Kata Sutanto, awalnya Atang berniat melunasi kewajibannya Rp 170 miliar. Na­mun, hasrat itu kandas gara-gara ada seseorang yang menakut-nakuti Atang. Karena takut, Atang memutuskan menetap di Singapura dan tak mau kembali ke Tanah Air. “Dia tak berani pulang,” ungkap bekas Kapolda Jatim itu.

Status hukum Atang, kata Sutanto, adalah orang bebas. Artinya, dia tidak menyandang sta­tus tersangka, terdakwa apalagi terpidana seperti layaknya koruptor lain yang buron ke luar negeri.

Kini Kapolri akan mengirim Atang ke Ke­jak­saan Agung (Kejagung). Na­mun, karena kon­disi kesehatan Atang tidak memungkinkan (usia 80 ta­hun dan sakit-sakitan—red), ke­po­li­sian pun kini menempatkan Atang di rumah sakit yang dirahasiakan. Dia datang dari Singapura dengan menggunakan kursi roda. “Tapi dia masih punya tang­gu­­ngan pengem­ba­lian BLBI yang diterimanya,” ucap­nya.

Soal penyerahan Atang ke Kejagung, Ka­puspenkum Kejagung Masyhudi Rid­wan di Jakarta, kemarin me­nga­ta­kan, belum menerima informasi. Masy­hudi menambahkan, Atang ti­dak ter­masuk dalam 18 koruptor yang tengah diburu Tim Pemburu Koruptor (TPK) yang dipimpin Wakil Jaksa Agung Basrief Arief.

Sementara itu, kuasa hukum The Nin King, Johnny Wirgho membantah jika kliennya disebut-sebut tengah diburu TPK hingga ke Amerika Serikat. “The Nin King sama sekali tidak termasuk ko­ruptor. Beliau juga tidak buron. Be­liau masih tetap berada dan tinggal di Jakarta dengan alamat yang sangat jelas,” bantah Wirgho dalam press re­lease yang dikirim ke redaksi Rakyat Mer­deka.

Di DPR pun kini tengah sibuk me­mang­g­il kongkomerat Liem Soei Liong. Dalam waktu dekat, kata ang­gota Komisi II DPR dari F-PKB Khaidir M Wafa akan kembali me­mang­gil Om Liem, pang­gilan akrab Liem Soei Liong terkait per­soalan ta­nah ma­sya­ra­kat hukum di Ro­kan Hilir dan Beng­kalis, Riau.

Dari Istana Negara Jubir Kepre­sidenan Andi Mallarangeng berpesan agar me­reka yang bersedia kembali ke Ta­­nah Air untuk memenuhi kewa­ji­ban­nya ke­pada ne­gara, supaya dihormati hak-hak­nya dan mendapatkan proses hu­kum yang adil tanpa penyimpangan ataupun pemerasan. “Bagi mereka yang masih di luar negeri, presiden minta pulang ke Tanah Air, un­tuk menye­le­saikan ke­wa­ji­ban­nya dengan aturan hukum yang adil,” tandas Andi. RM

Sumber: http://www.suaramerdeka.com/harian/0602/15/nas01.htm

Rabu, 15 Februari 2006

NASIONAL

Line

Kapolri Hanya Pasang Badan

  • Soal Pengemplang Dana BLBI ke Istana

JAKARTA-Langkah Kapolri Jenderal Pol Sutanto menjadi fasilitator kedatangan tiga pengemplang bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) ke Istana, menuai kecaman dari Fraksi PDI-Perjuangan dan Fraksi PKB serta pengamat ekonomi Faisal Basri. Selain mencederai lembaga negara, Sutanto dinilai menjadi korban calo di Istana.

Ketua Fraksi PDI-P Tjahjo Kumolo, Selasa kemarin, mengatakan, sekarang telah terungkap yang menjadi fasilitator pengemplang BLBI ke Istana adalah Kapolri Jenderal Sutanto. ''Apa pun kenyataannya, Kapolri dijadikan bumper calo-calo di Istana. Kalau belum ada sinyal dari Istana, mana mungkin berani,'' ujarnya.

Karena itu, menurut Tjahjo, calo di Istana itu yang harus dicari. Dia percaya Sutanto seharusnya tidak menjadi fasilitator pengemplang, karena mereka harus diproses secara hukum. ''Mereka harus diproses sesuai aturan dan dipaksa mengembalikan atas dasar hukum.''

Atas kejadian itu, Tjahjo menyayangkan langkah calo-calo Istana. ''Kasihan Kapolri jadi korban dan dikorbankan lagi oleh calo-calo Istana.''

Kritikan serupa juga datang dari FPKB. Bahkan, fraksi ini menilai langkah itu adalah sesuatu yang aneh. ''Kalau menurut saya apa yang dilakukan Presiden, Sudi Silalahi, dan Kapolri yang menerima para pencuri uang negara di Istana itu sudah menodai lambang negara, karena Istana Negara itu kan simbol kesucian dan ketertiban negara,'' kata Wakil Ketua FKB Effendi Choirie.

Menurut Choirie sangat aneh bila Kapolri menjadi fasilitator kedatangan tiga debitor BLBI ke Istana. Dia mengistilahkan bagaimana mungkin polisi yang bertugas mengejar pencuri tapi dia memfasilitasi pencuri itu untuk bertemu pemerintah di tempat terhormat.

''Kalaupun dia disebut mempunyai niat baik bisa saja, tapi hanya sebatas keinginan untuk mengembalikan utangnya, tapi harus diingat ketika dia mencuri dan lari itu merupakan kesalahan yang tak bisa diampuni,'' ucapnya.

Selama ini, kata Choirie, saat para pencuri uang negara itu lari semua menunggu, mencari dan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Tapi setelah lama dia dikejar dengan enaknya mau mengembalikan dan difasilitasi di tempat terhormat.

Karena itu, kalau pun para pencuri tersebut telah mengembalikan uang yang dicurinya ditambah dengan bunganya, proses hukum tetap harus berjalan. ''Niat baik mengembalikan uang negara harus diterima, tetapi kejahatannya juga harus diproses,''tandasnya.

Tidak Percaya

Pengamat ekonomi Faisal Basri tidak percaya kedatangan pengemplang BLBI ke Istana Negara atas inisiatif Kapolri. Diyakini ada calo di lingkungan Istana. Kapolri hanya pasang badan.

Faisal menilai ada yang ganjil dari kedatangan tiga debitor kakap BLBI itu ke Istana, terutama setelah Kapolri menyatakan, sebagai abdi negara dialah yang bertugas membawa orang-orang tersebut ke Istana.

''Ini kan tidak ada urusannya dengan Kapolri. Kapolri kan penegak hukum, bukan pelobi pelanggar hukum. Harusnya penegak hukum melakukan sesuai aturan, tapi tampaknya Kapolri pasang badan.''

Karena itu, Faisal yakin Presiden SBY tahu apa yang sebetulnya terjadi. Sebab pengemplang dana BLBI itu, Ulung Bursah (Bank Lautan Berlian), Lukman Hartanto (Bank Bira), dan James Januardy (Bank Namura Yasonta), tidak tiba-tiba datang ke Istana.

''Tampaknya ada yang bertindak sebagai calo yang membawa orang-orang ini ke dalam Istana. Karena tidak mungkin ini atas inisiatif Kapolri. Calonya, orang dalam Istana sendiri,'' tuturnya.

Faisal lalu mengimbau, hendaknya tidak ada penyelesaian di luar jalur aturan. Misalnya, Jaksa Agung yang dengan serta merta mengatakan mereka diberi kesempatan mengembalikan uang negara sampai akhir 2006.

''Itu acuan hukum dari mana, makin nggak jelas. Harusnya hal ini bisa diselesaikan dalam kerangka yang sudah ada,'' kata dia. Dengan menegakkan ketentuan, imbuh Faisal, ihwal pengembalian utang itu bisa jadi alasan meringankan hukuman lewat proses hukum di peradilan. ''Dan bukan lewat relung-relung Istana,'' tandasnya.

Dengan pengembalian BLBI ini, debitor bisa diringankan hukumannya jika sudah melewati proses hukum. Padahal hingga kini belum ada proses hukum apa pun, baru sampai tahap penyelidikan.

Karena itu, sebaiknya penyelidikan tersebut dilanjutkan. Karena setelah penyelidikan, dari situ ada hal-hal yang bisa meringankan, kalau mereka mengembalikan sepenuhnya utang beserta bunga.

''Selain itu, mereka kan pernah menyatakan sebagai korban pemerasan. Tunjuk saja siapa yang memeras. Kalau benar-benar ada kan mereka bisa betul-betul terbebas dari hukum,'' ujarnya.

Kapolri Jenderal Sutanto kembali menegaskan, pihaknya tidak akan menghentian proses hukum terhadap koruptor BLBI, meskipun mereka sudah meminta perlindungan ke Istana Negara beberapa waktu yang lalu.

Kepada wartawan di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Selasa (14/2), Sutanto mengatakan, pihaknya tetap akan melanjutkan proses hukum terhadap para debitor BLBI yang menunggak. ''Tentu yang melakukan pidana akan dilanjutkan, dan yang sudah lari akan dieksekusi, sedangkan yang perdata akan diselesaikan melalui saluran perdata,'' katanya

Dia mengatakan, mekanisme pengembalian uang tersebut melalui Menteri Keuangan. ''Ini sesuai dengan mekanisme di dalam mengembalikan aset negara.,'' ujarnya.

Pada kesempatan tersebut, Sutanto juga meluruskan pemberitaan mengenai tiga koruptor BLBI yang datang ke Istana pada 6 Februari lalu. Kedatangan mereka ke Istana adalah hal yang positif. Sebab kedatangan mereka menunjukkan adanya iktikad baik untuk mengembalikan utangnya.

Para pengemplang BLBI tersebut tidak tahu ke mana harus mengembalikan uang karena Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sudah tutup. ''Karena itu, kita wajib memfasilitasi demi kebaikan. Kita akan koordinasikan dengan Menteri Keuangan, Perekonomian, dan Kejaksaan,'' ucapnya.

Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengatakan, tenggat waktu pengembalian uang koruptor BLBI hingga akhir 2006 sangat wajar. ''Jangka waktu itu adalah inisiatif dari jaksa, Kapolri, Menteri Koordinator Perekonomian, dan Menteri Keuangan. Sisi hukum akan kita pelajari lagi."

Saat menanggapi tentang aset tersangka BLBI yang sudah dikembalikan kepada negara, Ketua Timtas Tipikor Hendarman Supandji mengatakan, pihaknya tetap akan memproses tindak pidana yang telah dilakukan berupa memperkaya diri sendiri. ''Tindak pidana tidak dihitung dari uang yang dikembalikan,'' tegasnya.(di,aih-48t)

sumbeR: http://www.eramuslim.com/berita/nasional/dpr-disesalkan-presiden-terima-kedatangan-pengemplang-dana-blbi.htm

DPR: Disesalkan Presiden Terima Kedatangan Pengemplang Dana BLBI

Sabtu, 11/02/2006 14:19 WIB Cetak | Kirim | RSS

DPR RI mempertanyakan sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menerima tiga debitor BLBI di Istana Negara beberapa waktu lalu. Karena kedatangan mereka itu akan menimbulkan berbagai spekulasi negatif di masyarakat.

“Mengurus utang itu kan tidak harus menemui presiden, bisa juga dengan menterinya dan lain-lain. Dengan bertemu SBY, maka akan menimbulkan dugaan-dugaan negatif di masyarakat,” kata Ketua DPR RI Agung laksono pada wartawan di Gedung MPR/DPR RI Jakarta, Jumat (10/2).

Agung Laksono mengatakan, DPR berharap bisa menjelaskan hal itu pada masyarakat agar terhindari dari prasangka dan dugaan yang aneh-aneh di masyarakat. Apakah melalui Mensesneg Yusril Izha Mahendra, ataupun Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi untuk klarifikasi itu.

Hal senada diungkapkan Ketua Fraksi PAN Abdillah Toha jika kehadiran tiga anggota BLBI ke istana adalah berlebihan. Dikatakannya, istana adalah lembaga terhormat dan lembaga tinggi yang harus tetap dijaga kredibilitasnya.

"Itu aneh dan berlebihan. Itu tidak boleh terulang. Sebab, kalau para debitor itu meminta jaminan hukum tidak perlu sampai datang ke istana tapi cukup melalui Kejaksaan Agung, "ujar Abdillah Thoha.

Menurutnya, langkah debitor BLBI itu berlebihan dan kalau mereka meminta sesuatu dan dituruti katanya nanti pemerintah yang dirugikan, yaitu uangnya tidak kembali dan orangnya malah bebas. Untuk itu pemerintah harus bersikap tegas, jangan asal menerima. “Saya yakin mereka itu datang ada yang nyuruh dan bukannya inisatif sendiri,” tegas dia. (dina)

Sumber: http://www.kompas.com/read/xml/2008/09/19/14261096/wapres.dukung.kpk.ambil.alih.kasus.blbi

Wapres Dukung KPK Ambil Alih Kasus BLBI

/

Jumat, 19 September 2008 | 14:26 WIB

Laporan wartawan Kompas Wisnu Nugroho A

JAKARTA, KAMIS- Wakil Presiden Jusuf Kalla mendukung upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengambil alih pengusutan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dari Kejaksaan Agung. "Sangat baik kalau KPK mengambil alih kasus BLBI. Kasus itu hanya bisa diungkap dengan cara-cara extraordinary (luar biasa)," kata Wapres Kalla di Istana Wapres, Jakarta, Jumat (19/9).

Cara-cara luar biasa yang memungkinkan terungkapnya kasus BLBI antara lain penggeledahan, penyadapan, dan memonitor secara intensif segala hal terkait kasus BLBI. "Kalau oleh kejaksaan dan kepolisian, cara yang dipakai adalah cara-cara normal," ujarnya.

Soal upaya banding atas SP3 kejaksaan terhadap kasus Syamsul Nursalim yang dibatalkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Wapres mempersilakan saja karena merupakan hak. "Yang jelas, saya pasti mendukung upaya keras oleh aparat penegak hukum (KPK) untuk mengusutan kasus BLBI," ujarnya.

Atang Latief, Ulung Bursa, James Januardi, Omar Puthirai (Kompas, 7 Februari 2006)

Sumber: http://nasrilbahar.wordpress.com/2008/03/10/istana-jadi-masalah-bukan-solusi-dalam-penanganan-kasus-blbi/

Nasril Bahar

| Anggota DPR RI | Fraksi Partai Amanat Nasional |

Istana Jadi Masalah, Bukan Solusi Dalam Penanganan Kasus BLBI

Medan, WASPADA Online – Kunci penyelesaian kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) sebenarnya ada di tangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun pihak Istana Negara sendiri akan menjadi bagian dari masalah, bukan solusi, dalam penanganan kasus korupsi itu.

Mantan ketua MPR RI, Prof DR HM Amien Rais mengemukakan hal itu dalam kunjungan ketiga kalinya ke Gedung Bumi Warta Waspada, Medan, Minggu (9/3), diterima Pemimpin Redaksi Harian Waspada, H. Prabudi Said dan Redaktur Sumut, M. Zeini Zen.

Turut ikut dalam rombongan antara lain Ketua DPD PAN Medan Ahmad Arif, SE.MM, pengurus DPP PAN H Nasril Bahar, SE dan Drs H Ibrahim Sakty Batubara, MAP, Ketua MPP DPW PAN Sumut H Azwir Sofyan, ketua dan sekretaris DPW PAN Sumut Kamaluddin Harahap dan HM Subandi, anggota Komisi III DPR RI Mulfachri Harahap dan para pengurus PAN lainnya.

Amien hadir di Medan selain menjadi pembicara dalam Tabligh Akbar yang diselenggarakan DPD PAN Medan di Lapangan Benteng, juga melaksanakan beberapa kegiatan diskusi soal politik yang digelar oleh beberapa kalangan. Amien ke Waspada sebelumnya pada saat dia menjabat Ketua DPP PAN pada tahun 1999 dan kemudian pada tahun 2004 saat menjadi calon presiden bersama wakilnya Siswono Yudhohusodo.

Dalam kunjungan kemarin, Amien Rais mengatakan, BLBI merupakan kasus korupsi yang berskala sangat besar, karena terkait dengan beberapa orang penting di Indonesia. “Para pencoleng BLBI punya keterikatan sangat dekat dengan para penguasa dan pejabat strategis. Karena tidak mungkin BI akan meloloskan puluhan triliun kalau tidak ada lampu hijau dari atas,” katanya.

Hal itu, kata Amien Rais, terlihat dari keputusan Kejaksaan Agung, mulai dari ketika dipimpin Abdul Rahman Saleh hingga Hendarman Supandji sekarang, yang telah menutup kasus tersebut dengan alasan tidak ada lagi bukti.

Bahkan, tambahnya, pada zaman pemerintahan Megawati Soekarno Putri, para pencoleng BLBI itu diberikan berupa surat keterangan lunas. Sehingga Anthony Salim yang ketika itu punya hutang Rp50 trilliun cukup membayar Rp 20 trilliun, dan dianggap lunas. Sedangkan sisanya ditanggung negara.

Menurut Amien Rais, dengan tertangkapnya jaksa penyelidik kasus BLBI Urip Tri Gunawan atas dugaan penerimaan uang AS $ 660 ribu, maka sudah sangat jelas kasus yang diperkirakannya merugikan negara sampai Rp600 trilliun itu harus dibuka kembali. “Jumlahnya sudah hampir sama dengan APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) kita satu tahun,” tambahnya.

Amien Rais juga mengatakan, penanganan kasus BLBI itu harus ditangani Komisi Pemberantansan Korupsi (KPK), karena dinilainya Kejaksaan Agung yang selama ini menanganinya telah berusaha menutup-nutupi kasus ini. “Inilah saatnya bagi pak Antasari (ketua KPK) yang ternyata memang telah menunjukkan taringnya,” tambah Amien Rais.

Amien Rais menambahkan, bola panas BLBI kini ada di tangan Presiden SBY, sebab sebelumnya SBY mengkampanyekan akan memimpin pemberantasan korupsi di Indonesia. Apalagi bila kasus ini diusut sampai akarnya, maka akan kelihatan keterlibatan orang-orang yang di luar perkiraan.

Namun di sisi lain Amien berpendapat, Istana Negara tidak lagi menjadi solusi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, namun justru menjadi bagian dari masalah. Sebab istana kini menjadi permainan para konglomerat hitam. “Karena tidak tertutup kemungkinan para pencoleng dana BLBI telah memberikan bantuan kepada tokoh-tokoh pada Pemilu 2004 lalu,” tambahnya.

Dia mencontohkan, bagaimana Istana Negara mau mencampuri urusan penangkapan ratusan sepatu yang dilakukan Bea Cukai karena melanggar urusan kepabeanan, hanya karena Hartati Murdaya yang marah akan penangkapan itu langsung melaporkannya ke Istana. “Sehingga Bea Cukai akhirnya harus berhadapan dengan Istana Negara, ya tidak mungkin menang,” katanya.

Begitu juga dengan pengungkapan kasus aliran dana BI, yang menurut Amien Rais, bila terus diusut sampai tuntas, bisa menyebabkan besan Presiden SBY yang juga mantan deputi gubernur BI, Aulia Pohan menjadi tersangka.

Lebih jauh Amien Rais mengatakan, dia akan mengungkapkan seluruh analisisnya mengenai kondisi RI termasuk masalah korupsi yang melibatkan para pejabat dan Istana Negara dalam buku yang ditulisnya dengan judul “Agenda Mendesak Bangsa Indonesia Di Tengah Putaran Globalisasi”.

Buku tersebut, tambah Amien Rais, ditulisnya dengan menggunakan naluri, cara dan metode akademik, dimana dia akan menyebutkan data dan angka-angka dalam buku itu. Buku itu sendiri rencananya akan segera diterbitkan. “Mungkin dalam beberapa minggu ini, kalau perlu kita launching di Medan,” ujarnya.

Perlu Dibedah

Dalam kesempatan itu, Amien Rais juga menegaskan dirinya tidak akan ikut mencalonkan diri menjadi orang nomor satu RI lagi, selama sistem komputerisasi di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat tidak ditangani program softwarenya oleh para ahli informasi teknologi dari parpol-parpol.

“Software nya KPU itu harus ‘dibedah’ dulu, karena yang membuatnya itu kawan-kawan dari Amerika Serikat (AS). Lucunya lagi, AS sendiri padahal tidak mau menggunakan sistem itu untuk Pemilu mereka,” kata Amien Rais menjawab pertanyaan Pemimpin Redaksi Harian Waspada Prabudi Said tentang keinginannya ikut mencalonkan diri sebagai presiden pada Pilpres 2009.

Amien Rais mengatakan, ada dua alasan yang bisa membuatnya merubah keputusan untuk ikut mencalonkan diri kembali sebagai presiden RI. Pertama bila ada dukungan dana yang mencukupi. Dan kedua bila program sistem penghitungan suara dalam komputer KPU Pusat diganti.

Menurut Amien Rais, sistem rekapitulasi penghitungan suara dalam sistem komputerisasi KPU Pusat tidak dapat dijadikan acuan hasil jumlah suara. Karena ternyata penambahan suara dari daerah ke dalam komputer KPU Pusat itu tidak bisa sesuai dengan jumlah sebenarnya. “Jadi komputer itu telah diprogram, sehingga berapapun penambahan suara yang masuk, jumlah pertambahan persentasenya dalam komputer tidak berubah,” kata Amien.

Hal itu, tambah Amien Rais, diketahuinya setelah hasil penghitungan penambahan suara secara manual yang disampaikan kepadanya dari daerah, ternyata setelah dibandingkan berbeda dengan hasil penambahan suara dalam sistem komputer KPU pusat. “Sistem komputerisasi yang dicurigai itu hanya ada di komputer KPU Pusat, tidak ada di KPU daerah,” katanya.

Karena itu, Amien Rais mengajak seluruh Partai Politik (Parpol) yang menjadi peserta Pemilu untuk bersama-sama mengirimkan kadernya yang ahli dalam informasi teknologi untuk membedah sistem komputerisasi di KPU Pusat tersebut.

Setelah itu, katanya, nantinya para Parpol itu bermusyawarah untuk bersama-sama membuat software bersama yang akan digunakan KPU Pusat dalam sistem komputerisasi pada Pemilu yang akan datang.

Dalam kesempatan pertemuan silaturahmi di Waspada, Amien Rais menerima kenang-kenangan buku Aceh Sepanjang Abad, karya almarhum H Mohammad Said yang telah dicetak ulang, diberikan langsung H. Prabudi Said. Sementara Amien memberi cenderamata baju resmi PAN dan memakaikannya pada Prabudi. (h11)

Waspada
Senin, 10 Maret 2008

Sumber: http://www.mail-archive.com/tionghoa-net@yahoogroups.com/msg08441.html

RE: [t-net] Mengapa debitor BLBI bisa nyelonong ke Istana?

ulysee
Mon, 13 Feb 2006 02:25:52 -0800

    Lucu kok mempertanyakan mengapa bisa nyelonong. 
Ya lantaran dia punya kaki, 
kalau ngga punya kaki pasti dia 'ngglundung' ke Istana. 
 
Hehehe, kidding. Saya belum pernah ke istana merdeka sih, jadi ngga tahu
berapa repotnya minta ketemu presiden di kantornya situ. Dan berapa
susahnya menembus berapa lapis penjagaan disana. 
 
Tapi sepertinya bukan itu yang ingin disampaikan, melainkan beberapa
side effect a.l:
1)pertanyaan mengapa repot ke istana kok enggak ke depkeu aja? 
 
kali depkeu be te, dilangkahin langsung pengaduan ke presiden, ga
percaya ama gue ya? 
Jadi intinya masalah kepercayaan. 
Positif thinking, mereka yang terkena kasus BLBI lebih percaya kalau
Presiden ikut campur, ketimbang menyerah ama departemen aja, biar tau
noh, kemaren dulu gue diperes, ama anak buah lu, gitu. Sama seperti mami
gue dulu, kalu anaknya kena kasus, langsung ngadu ke kepsek, guru wali
kelas suka bete di lewat, hehehe.
 
Barangkali yang dicari sebetulnya bukan presiden, tapi sorotan media, 
Jadi mereka bisa bilang eehhh gue emang bawa lari uang negara, 
tapi bukan diem diem noh, aparat negara tahu tuh, 
Buktinya ada aparat negara yang peres gue lhoooo. 
Gue ini korban ketidakstabilan hukum, makanya gue lari lari, gitu. 
 
Kalau nggak ke istana, mana dapet sorotan media. Kalu lari ke DPR,
hihihi lebih ngaco lagi.
 
2)Gue agak tidak sabar dengan pertanyaan mengapa-mengapa yang terakhir.
Maunya menggiring opini pembaca kemana sih? 
 
Mengapa yang kena kasus bisa masuk jauh ke istana sementara korban SUTET
tidak bisa? khan sudah dijawab sendiri di paragraf kedua. Koneksi jack,
koneksi itu penting. 
Korban SUTET tidak punya koneksi, sementara yang pernah kasus BLBI
kemungkinan punya koneksi minimal sampe ke pintu dapur aja mah bisa,
hehehe. 
 
Oh iya, itu di paragraf kedua, hanya tamu yang dianggap "bersih"
maksudnya apa? Bersih dari tuduhan? Atau bersih udah mandi, hihihi. Yang
pasti bukan bersih dari korupsi khan? Soalle kabarnya yang suka keluar
masuk istana banyak yang minimal pernah kena gossip korupsi sekali,
jadi... Yang kena kasus BLBI kaga perlu diheran-in donk kalu bisa masuk
istana, hihihi.
 
-----Original Message-----
From: Holy Uncle [EMAIL PROTECTED] 
Sent: Monday, February 13, 2006 1:32 PM
To: [EMAIL PROTECTED]; tionghoa-net@yahoogroups.com;
proletar@yahoogroups.com; [EMAIL PROTECTED]
Subject: [t-net] Mengapa debitor BLBI bisa nyelonong ke Istana?
 
 
Senin, 13/02/2006
Mengapa debitor BLBI bisa nyelonong ke Istana?
Oleh : Diena Lestari
 
 
Kemegahan kompleks Istana Kepresidenan sebagai salah satu simbol negara 
mengundang decak kagum bagi siapapun yang melihatnya. Saat malam
menjelang, 
saat lampu jalan di seputar Medan Merdeka menyala, aura kemegahan
kediaman 
orang nomor satu di negeri ini tersebut makin terpancar kuat. Sebagai
simbol negara, tak berlebihan jika kemudian untuk masuk ke kompleks 
Istana, utamanya ke Gedung Kepresidenan, Istana Negara, atau Istana
Merdeka, 
sangat sulit dan kerap merepotkan.
 
Hanya tamu yang dianggap 'bersih' dan lolos dari beberapa lapis
penjagaan 
saja yang dapat memasuki kompleks Kepresidenan. Itupun belum jaminan
juga. 
Kadang, meski persyaratan sudah dipenuhi, tapi yang bersangkutan tetap
tak 
diperbolehkan masuk. Kalau sudah begitu, tamu itu terpaksa menggunakan 
ponselnya agar orang di dalam Istana keluar dan menemui mereka di pos 
penjagaan-tempat 'transit'.
 
Dapat dibayangkan jika para petugas sedikit saja lengah, tak hanya
keamanan 
presiden beserta keluarga yang menjadi taruhannya, tapi citra pemerintah
 
dalam pandangan publik pun bisa terpengaruh.
 
Contohnya pada 2004, ketika Dodi Sumadi-yang saat itu tengah dicari 
polisi-dapat masuk dan mengikuti prosesi pelantikan menteri Kabinet 
Indonesia Bersatu di Istana Negara.
 
Debitor Jumlah utang BLBI
James Januardy dari PT Bank Namura Int Rp123,042 miliar
Ulung Bursa dari PT Bank Lautan Berlian Rp615,443 miliar
Omar Putihrai dari PT Bank Tamara Rp190,169 miliar
Sumber: Diolah
 
Tak pernah jelas bagaimana seorang yang bermasalah bisa masuk ke
kompleks 
Istana. Apakah memang mendapat undangan, mempunyai fasilitator, ataukah 
memakai identitas yang meyakinkan sehingga lolos.
 
Tapi apa yang terjadi jika kurang dari dua tahun sejak peristiwa itu, 
kemudian hal yang mirip-tapi dengan masalah yang berbeda-muncul lagi?
 
Kisah tiga debitor
 
Belum lama ini, tepatnya 7 Februari, publik terperangah ketika 
sekonyong-konyong para debitor yang tersangkut kasus dana Bantuan
Likuiditas 
Bank Indonesia (BLBI) datang ke Gedung Kepresidenan.
 
Mereka adalah James Januardy dari PT Bank Namura Int. (Rp123,042
miliar), 
Ulung Bursa dari PT Bank Lautan Berlian (Rp615,443 miliar), Omar
Putihrai 
dari PT Bank Tamara (Rp190,169 miliar), dan Lukman Astanto sebagai 
perwakilan Atang Latif (Bank Bira).
 
Mereka yang datang tak lama setelah kehadiran Kapolri Jenderal Pol.
Sutanto 
ke Gedung Kepresidenan itu didampingi Waki Kepala Badan Reserse Kriminal
 
Mabes Polri Inspektur Jenderal Pol. Gorries Mere dan Wakil Direktur II 
Direktorat Ekonomi Khusus Bareskrim Mabes Polri Komisaris Besar Pol.
Benny 
Mamoto.
 
Dalam wawancara kepada pers, Kapolri menyatakan secara teknis polisi
hanya 
memfasilitasi saja karena detailnya akan ditangani kejaksaan dan Depkeu 
mengingat belum ada kaitannya dengan hukum. Yang jelas, Kepala Negara
tidak 
pernah menerima mereka meski para debitor sudah masuk ke kompleks
Istana.
 
Memang, para debitor tak pernah diterima Presiden SBY, tapi kehadiran
itu 
justru mengundang sorotan. DPR bahkan menilai kedatangan mereka ke
Istana 
sangat berlebihan. Dan mereka mengkhawatirkan adanya kompromi tertentu
di 
antara pihak-pihak terkait.
 
Tak cukup sekali Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi dan Juru Bicara 
Kepresidenan Andi A. Mallarangeng berusaha meyakinkan bahwa Istana tak 
pernah mengundang para debitor itu.
 
"Jadi kalau mereka datang ke Kantor Presiden, itu bukan undangan
Presiden, 
bukan undangan Seskab," tangkis Sudi.
 
Sedangkan Andi menyatakan kedatangan para debitor itu karena mereka 
menginginkan kepastian prosedur hukum. "Mereka lari karena
ketidakpastian 
hukum. Presiden katakan jangan ada penyimpangan dan jangan diperas.
Siang 
dibawa ke Gedung Bundar, lalu malam hari diajak negoisasi, itu tak bisa 
lagi. Kita jamin akan memberikan hak-hak mereka. Tetapi mereka juga
harus 
memenuhi kewajibannya kepada negara."
 
Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menyatakan bahwa salah satu hasil Rakor
di 
Depkeu adalah para debitor itu diberikan batas waktu hingga akhir 2006
untuk 
melunasi kewajibannya.
 
Keputusan penting telah diambil. Keputusan untuk mendapatkan kembali
aset 
negara yang sempat lenyap. Namun masih banyak pertanyaan menggantung tak
 
terjawab. Seperti mengapa para debitor repot datang ke Istana, sedangkan
 
untuk membahas mekanisme pengembalian dana, mereka dapat langsung datang
ke 
Depkeu?
 
Jika pihak Istana tidak pernah mengundang para debitor, mengapa mereka
dapat 
masuk dengan mudah? Ketika kemudian juru bicara menjawab bahwa semua
orang 
bisa masuk ke Istana jika mempunyai identitas yang jelas, bukankah para 
korban SUTET juga orang-orang yang mempunyai identitas yang jelas, tak 
pernah membawa kabur aset negara, tapi justru menuntut hak di luar pagar
 
Istana, dan tak bisa (sejauh ini) masuk ke Istana, bertemu dengan 
presidennya?
 
http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=268&_dad=portal30&_schema=POR
TAL30&p_ared_id=419124&p_ared_atop_id=O05

Sumber: http://www.detikfinance.com/read/2006/02/07/161534/534287/4/ekonomi/ekonomi/sosok/index.html

Selasa, 07/02/2006 16:15 WIB
Catatan Bisnis
Pengemplang BLBI yang Sowan ke Istana Tak Punya Surat Lunas
Nurul Qomariyah - detikFinance

Jakarta - Tiga pengemplang BLBI sowan ke Istana Presiden SBY. Mereka kemungkinan berharap tak lagi mendapat tuntutan hukum setelah membayar utang. Semudah itukah? Para pengemplang BLBI itu tampaknya harus tetap berurusan dengan hukum. Pasalnya, nama-nama mereka tetap tercatat sebagai debitor yang tidak mengantongi Surat Keterangan Lunas (SKL) hingga Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berakhir pada 30 April 2004 silam. BPPN sendiri sedianya bubar pada 27 Februari 2004, namun masa kerjanya diperpanjang selama 2 bulan untuk penyelesaian tugasnya. SKL merupakan bukti jaminan pembebasan dari tuntutan hukum atau yang biasa disebut release and discharge. Beberapa pengutang kakap yang telah mengantongi SKL antara lain Anthoni Salim, Bob Hasan, Sjamsul Nursalim, Siti Hardiyanti Rukmana, Sudwikatmono, The Nin King. Berdasarkan catatan detikcom, setidaknya ada delapan debitor PKPS yang belum mengantongi SKL hingga BPPN bubar pada 30 April 2004. Karena tidak selesai, maka penyelesaian 8 debitor PKPS ini selanjutnya diselesaikan secara perdata oleh Tim Pemberesan BPPN. Di masa akhir BPPN, dari 40 penandatangan PKPS, sebanyak 24 pemegang saham bank telah mendapatkan SKL, 8 penanda tangan PKPS dipastikan tidak akan menerima SKL karena belum selesainya proses penyelesaian kewajiban mereka dan 8 penanda tangan PKPS lainnya dinilai tidak kooperatif dan kini kasusnya sudah diserahkan kepada kepolisian. "Untuk sisa yang delapan yang belum menyelesaikan kewajibannya kepada negara dipastikan tidak akan mendapatkan SKL karena yang bisa memberi SKL hanya ketua BPPN. Oleh karena itu penyelesaian kasusnya akan diselesaikan secara perdata biasa oleh Tim Pemberesan. Kita akan tetap optimalkan tagihan dari ke-8 penanda tangan PKPS ini untuk memperoleh pengembalian yang maksimal bagi negara," ujar Kepala BPPN Syafruddin Temenggung dalam jumpa pers pada 30 April 2004 lalu. Kedelapan debitor PKPS yang berpotensi mengembalikan kewajiban negara akan tetapi belum dapat diselesaikan BPPN hingga akhir masa tugasnya, antara lain Adi Saputra Januardy dan James Januardy (Bank Namura Yasonta), Samadikun Hartono (Bank Modern), Kaharuddin Ongko (Bank Umum Nasional), Atang Latief (Bank Bira), Lidia Mochtar dan Omar Putirai (Bank Tamara), Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian), dan Marimutu Sinivasan (Bank Putera Multikarsa). Kedelapan debitor itu tidak akan mendapatkan SKL. Namun, mereka wajib menyelesaikan utang kepada negara melalui Tim Pemberesan. Penagihan utang itu menurut Syafruddin, akan dilakukan melalui proses perdata. Jika memang demikian halnya, tampaknya penyelesaian kewajiban para pengemplang BLBI itu tak akan semudah membalikkan tangan. Mereka harus tetap berurusan dengan hukum sesuai dengan aturan.(qom/)

Sumber: http://hariansib.com/2008/02/paripurnan-dpr-dihujani-interupsi/

Paripurnan DPR Dihujani Interupsi

http://hariansib.com/news/wp-content/themes/blue-tech/images/postheaderend.gifPosted in Berita Utama by Redaksi on Februari 13th, 2008

Jakarta (SIB)
Rapat Paripurna DPR RI dengan agenda pembacaan keterangan dan jawaban pemerintah atas interpelasi DPR soal kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di Jakarta, Selasa pagi, diwarnai hujan interupsi para anggota Dewan yang mempertanyakan ketidakhadiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Rapat yang dimulai sekitar pukul 10.00 WIB itu dipimpin Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak hadir dalam rapat tersebut namun mengutus sejumlah menteri untuk menyampaikan jawaban pemerintah atas interpelasi DPR tentang kasus BLBI tersebut.
Nampak hadir dalam rapat itu antara lain Mensesneg Hatta Rajasa, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menko Perekonomian Boediono, Menkumham Andi Mattalata, Menko Kesra Aburizal Bakrie, Menko Polkam Widodo AS, Jaksa Agung Hendarman Supandji, dan Kapolri Jendral Sutanto.
Beberapa saat setelah Muhaimin membuka rapat paripurna tersebut, sedikitnya 20 anggota DPR langsung melakukan interupsi secara bergantian. Mereka mempertanyakan ketidakhadiran Presiden Yudhoyono secara langsung untuk menyampaikan jawaban pemerintah.
Interupsi itu antara lain disampaikan oleh Anggota Fraksi PDIP Aryo Bimo, anggota Fraksi PKB Abdullah Azwar Anas, dan anggota Fraksi PAN Drajat Wibowo.
Menurut mereka, ketidakhadiran Presiden Yudhoyono itu menunjukkan ketidaksiapan pemerintah memberi jawaban atas interpelasi DPR yang â€Å“hanyaâ€� berisi 10 pertanyaan itu.
Namun anggapan tersebut dibantah oleh Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR Faried Hasan yang menyatakan bahwa ketidakhadiran presiden bukan sesuatu yang substansi karena tata tertib DPR mengatur bahwa presiden bisa mewakilkan kepada para menterinya.
Hingga sekitar pukul 11.30 WIB, jawaban pemerintah yang rencananya akan disampaikan oleh Menko Perekonomian Boediono belum dimulai karena interupsi dari para anggota Dewan masih berlangsung.
Rapat tersebut juga sempat diskors selama sekitar lima menit untuk memberikan kesempatan kepada pihak sekretariat DPR untuk membagikan salinan jawaban pemerintah atas interpelasi DPR tersebut.
Absen Interpelasi BLBI Presiden SBY Dinilai Tidak Serius mengatasi kasus BLBI
Menurut detikcom, ketidakhadiran Presiden SBY dalam menjawab interpelasi BLBI di DPR menuai interupsi dari fraksi-fraksi. SBY dinilai tidak serius dalam mengatasi kasus BLBI.
â€Å“Kita sudah menduga presiden tidak hadir. Kita sangat menyayangkan, kendati pun dalam tata tertib DPR, presiden bisa diwakilkan, tapi dengan ketidakhadirannya, menunjukkan SBY tidak jantan menjawab persoalan-persoalan kebangsaan. Padahal kasus ini telah menyengsarakan rakyat,â€� cecar anggota FKB Abdul Anshar Anas dalam interupsinya di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (12/2).
Hal serupa juga disampaikan oleh anggota FPAN Drajat Wibowo. Menurut dia, ketidakhadiran SBY merupakan bentuk nyata ketidakseriusan pemerintah dalam menyelesaikan kasus BLBI. Drajat mengatakan, sejak bulan Oktober 2004, tidak ada satu pun obligor nakal yang diproses tuntas.
â€Å“Presiden mau datang ke rapat konsultasi tentang Sjamsul Bachri, meskipun itu penting, tetapi sayangnya interpelasi BLBI tidak datang. Padahal BLBI jauh lebih penting, karena terkait dengan rakyat banyak,â€� kata Drajat. Drajat menuturkan, SBY yang pada saat itu masih menjabat sebagai Menko Polhukam mengetahui proses awal BLBI. Ketidakhadiran SBY justru menunjukkan ketidakseriusannya menangani kasus BLBI.
â€Å“Secara moral wajib untuk datang menjelaskan,â€� tutur dia.
Interupsi juga datang dari anggota FPG Yudhi Chrisnandi. Yudhi menyayangkan ketidakhadiran SBY, apalagi jawaban SBY yang akan dibacakan Menko Perekonomian Boediono tidak dikopi untuk dibagikan kepada anggota DPR untuk dikritisi.
â€Å“Jangan sampai kasus ini diselesaikan di bawah meja dan menjadikan para obligor sebagai ATM orang-orang tertentu,â€� imbuh Yudhi.
Percuma Dipaksa
Sementara anggota FPDIP Aryo Bimo justru mempersilakan wakil pemerintah untuk membacakan jawaban SBY. Menurut Aryo, meski dipaksa sekalipun, SBY tidak akan datang dengan alasan mengacu diktatif DPR. â€Å“Nggak usah lagi dipermasalahkan, karena sudah jelas dari dulu tidak mau hadir, dibacakan saja,â€� katanya.
Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar selaku pimpinan sidang menawarkan anggota untuk melanjutkan atau menunda pembacaan wakil pemerintah, tetapi sebelum diputuskan interupsi muncul kembali terkait belum adanya jawaban tertulis dari pemerintah.
Pukul 10.40 WIB, rapat paripurna akhirnya diskors selama 5 menit untuk jawaban tertulis dari presiden kepada anggota DPR. Setelah itu jawaban presiden akan dibacakan oleh Menko Perekonomian.
Mikrofon Mati, Anggota Dewan Interupsi Pakai Toa
Suasana sidang interpelasi BLBI terus dihujani interupsi. Dari pemerintah belum satu pun yang memberi keterangan di hadapan sidang karena anggota dewan masih mempersoalkan ketidakhadiran Presiden SBY.
Tiba-tiba saja hujan interupsi terpecahkan oleh suara, â€Å“Ade Daud dari Fraksi PBRâ€�. Semua mata mengarah kepada Ade. Rupanya Ade tidak menggunakan mikrofon yang sudah tersedia di depan meja masing-masing. Dia menggunakan megafon atau toa yang biasa dipakai demonstran.
Karuan anggota dewan tertawa melihat aksi Ade. â€Å“Ha.. ha.. ha….â€� Namun itu tak berlangsung lama. Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar selaku pimpinan sidang langsung memotong pembicaraan Ade dan memintanya mencari mikrofon lain yang masih bisa digunakan.
Ade yang duduk di barisan kanan kursi yang berhadapan dengan tempat pimpinan sidang langsung berjalan. Dia meminjam mikrofon meja yang tepat berhadapan di meja pimpinan sidang.
â€Å“Sidang paripurna ini sebaiknya diundur untuk mempersilakan SBY tetap hadir karena DPR ini sejajar dengan Presiden, bukan bawahan Presiden, dan Presiden bukan atasan DPR,â€� tegas Ade Daud.
Selain Ade Daud yang berhasil menyampaikan interupsi, Panda Nababan dari FPDIP membuka suara mengenai hujan interupsi yang tak juga selesai.
â€Å“Saya masih heran dengan partai-partai pemerintah, mereka kok malah meminta bertanya kepada Presiden? Padahal yang harusnya bertanya itu oposisi. Tolong partai-partai pemerintah ini tahu diri, jangan kelihatan,â€� ujarnya menyindir partai non-oposisi.
Interupsi SBY Absen Mengalir, Sidang Interpelasi BLBI Diskors
Sidang paripurna interpelasi BLBI sudah berlangsung kurang lebih 1,5 jam. Namun selama sidang berlangsung selalu diwarnai hujan interupsi dari anggota Dewan mengenai ketidakhadiran Presiden SBY.
Substansi interpelasi sendiri belum dimulai, yakni mendengarkan jawaban dari pemerintah. Karena ramainya hujan interupsi, akhirnya sidang interpelasi BLBI diskors selama 30 menit untuk memberi kesempatan kepada pimpinan fraksi melakukan lobi-lobi.
â€Å“Sidang interpelasi akan diskors, tapi bukan 5 menit melainkan 30 menit, kerena banyaknya interupsi. Kami minta ketua-ketua fraksi ke belakang,â€� kata pimpinan sidang yang juga Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (12/2).
Saat ini sambil menunggu skorsing selesai, para anggota Dewan tampak saling berbincang-bincang. Di kursi pemerintah terlihat Mensesneg Hatta Rajasa, Menko Kesra Aburizal Bakrie, Menkopolhukam Widodo AS, dan Menkum dan HAM Andi Matalatta juga saling berbincang-bincang.
Di sisi lain, Menkeu Sri Mulyani, Kapolri Jenderal Sutanto, dan Jaksa Agung Hendarman Supandji ikut ngobrol. Tak tahu apa yang mereka ‘rumpiin’.
30 Menit Lewat Skorsing Interpelasi BLBI Molor
Sidang paripurna interpelasi BLBI diskors selama 30 menit, Selasa (12/2). Namun sudah lebih dari 30 menit, sidang masih belum dilanjutkan.
Suasana di ruang sidang di Senayan, Jakarta, pun tampak biasa saja. Anggota Dewan masih sibuk berbincang-bincang satu sama lain. Kursi banyak kosong karena banyak anggota Dewan yang keluar ruangan.
Di kursi pemerintahan pun hanya tampak Menko Kesra Aburizal Bakrie, Menko Polhukam Widodo AS, dan Menkeu Sri Mulyani.
Pimpinan sidang Muhaimin Iskandar juga belum terlihat di ruangan. Begitu juga dengan para ketua fraksi belum masuk ke ruangan. Masih belum jelas kapan sidang akan dilanjutkan.
Sebelumnya sidang paripurna interpelasi BLBI diskors karena hujan interupsi dari anggota Dewan. Bahkan 6 orang dari FPAN yang dipimpin Alvin Lie mengembalikan jawaban tertulis dari pemerintah bentuk protes karena Presiden tidak hadir langsung dalam sidang.
Anggota DPR Protes Jawaban SBY Soal BLBI Diteken Boediono
Hujan interupsi terjadi saat lembar jawaban tertulis Presiden SBY dibagikan kepada anggota DPR. Tanda tangan yang berada di dalam lembaran-lembaran tersebut bukanlah dari SBY melainkan dari Menko Perekonomian Boediono.
Anggota DPR pun meminta jawaban SBY terkait interpelasi BLBI dikembalikan kepada pemerintah untuk dirapatkan kembali.
â€Å“Presiden tidak tahu tata cara bernegara. Jawaban SBY boleh diwakilkan, tetapi yang bertanggung jawab harus Presiden bukan Menteri Perekonomian,â€� interupsi anggota FPDIP Aryo Bimo di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (12/2).
Interupsi serupa juga datang dari salah satu anggota FPKS Suryama. Secara tegas dia meminta agar sidang ditunda atau dibatalkan hingga SBY menandatangani jawaban Presiden sebagai bentuk pertanggungjawaban.
â€Å“Secara pribadi saya akan mengembalikan ini dan saya akan keluar dari ruangan ini,â€� cetus Suryama sambil menyerahkan jawaban pemerintah ke Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar selaku pimpinan sidang dan meninggalkan ruang sidang.
Sedangkan anggota FPAN Azlaini Agus menyatakan, jawaban SBY yang hanya ditandatangani oleh Menko Perekonomian sangat tidak layak. Menurutnya, pemerintah harus memperbaiki jawaban itu hingga SBY sendiri yang menandatanganinya.
â€Å“Ini sangat tidak layak kalau menteri yang memberikan pernyataan karena yang diminta adalah penjelasan presiden bukan keterangan menteri,â€� ujar dia.
skors dicabut, interpelasi blbi sepi peminat, interupsi stop
Suasana sidang lanjutan interpelasi BLBI sangat jauh berbeda dibandingkan saat sebelum diskors. Anggota dewan mulai berkurang, suasana lebih kalem karena hujan interupsi tidak ada lagi.
Pantauan detikcom hingga pukul 13.50 WIB, Selasa (12/2), jumlah kursi kosong setelah masa skors lebih banyak dibandingkan sebelumnya.
Bahkan setelah skors dicabut pada pukul 13.00 WIB, satu per satu anggota dewan yang semula masih bertahan mulai meninggalkan ruang sidang di Gedung DPR, Senayan, Jakarta.
â€Å“Keluar sebentar, ntar juga balik lagi,â€� kata salah satu anggota dewan.
Tidak sedikit anggota dewan yang meninggalkan ruang sidang karena kecewa dengan draf jawaban pemerintah terhadap persoalan BLBI. Anggota FPAN Dradjat H Wibowo, misalnya. Dia mengatakan, jawaban pemerintah tidak memuaskan.
â€Å“Secara umum belum memuaskan jawaban Presiden dalam draf, karena Presiden belum berani menentukan tenggat waktu kapan ini selesai. Jawaban-jawabannya masih sangat normatif,â€� katanya.
Dradjat juga kembali mempersoalkan ketidakhadiran Presiden SBY dalam sidang. Padahal dalam tatib pasal 174 ayat 4, yang memberikan keterangan harus presiden langsung.
Meski ruang sidang mulai ditinggalkan peminat, dari pihak pemerintah secara bergiliran Menko Perekonomian Boediono dan Menkeu Sri Mulyani masih membacakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dari DPR tentang kasus BLBI ini.
Sidang Interpelasi BLBI Dilanjutkan, Boediono Berpidato
Setelah 1,5 jam menggelar lobi yang cukup alot antara pimpinan fraksi DPR, akhirnya sidang paripurna interpelasi BLBI dilanjutkan. Sidang dilanjutkan dengan mendengarkan penjelasan dari pemerintah yang disampaikan Menko Perekonomian Boediono.
Sidang bisa dilanjutkan karena hanya dua fraksi yakni FKB dan Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (FBPD) yang mengusulkan ditunda. Sementara 8 fraksi lainnya setuju untuk dilanjutkan.
â€Å“Setelah lebih dari 1 jam lobi, fraksi-fraksi sudah menyampaikan pendapatnya. Fraksi-fraksi menghendaki diteruskan penyampaian, penjelasan Presiden kecuali FPB dan FBPD. Apakah sidang ini setuju diteruskan?â€� tanya pimpinan sidang Muhaimin Iskandar saat membacakan hasil lobi dalam sidang paripurna di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (12/2).
Anggota Dewan pun serentak mengatakan setuju. Palu tanda sidang dilanjutkan pun diketok oleh Muhaimin. Muhaimin kemudian mempersilakan Boediono untuk membacakan penjelasan pemerintah.
Saat Boediono berjalan ke podium, anggota FBPD M Tonas menyampaikan interupsi yang mempertegas untuk menunda sidang karena belum ada tanda tangan dari Presiden SBY dalam jawaban tertulis dari pemerintah.
â€Å“Sikap fraksi kami tetap keukeuh untuk mengusulkan sidang ini ditunda karena penjelasan pemerintah tidak ditandatangani oleh Presiden. Kita minta pada pimpinan untuk menunda sidang ini,â€� kata Tonas yang disambut dengan sorakan huuu…oleh anggota Dewan lainnya.
Seorang anggota Dewan lainnya juga ada yang ingin menyampaikan interupsi lagi. Namun belum sempat menyampaikan interupsinya, Muhaimin langsung mempersilakan Boediono untuk segera membacakan penjelasan tersebut.
Dalam pembacaan penjelasan interpelasi DPR tersebut, beberapa anggota Dewan keluar ruangan. Namun 300-an dari 550 anggota Dewan masih bertahan di ruangan. Pembacaan jawaban interpelasi DPR dari pemerintah berlangsung tenang dan hening.
DPR Sepakat Lanjutkan Sidang Interpelasi BLBI Jilid II
Setelah berlangsung selama 4,5 jam, sidang paripurna DPR dengan agenda interpelasi BLBI akhirnya berakhir tepat pukul 14.30 WIB. Fraksi-fraksi di DPR akhirnya sepakat minta diberi kesempatan untuk mendalami jawaban yang disampaikan presiden dalam sidang interpelasi jilid II.
â€Å“Kami meminta agar diberi waktu kepada seluruh fraksi untuk mendalami jawaban dari pemerintah untuk diteliti alenia per alenia sehingga persidangan berikutnya dikhususkan untuk pandangan-pandangan fraksi,â€� ujar Ketua FPG Priyo Budi Santoso dalam sidang interpelasi di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (12/2).
Setali tiga uang, Ketua FPPP Lukman Hakim Saefuddin juga mengatakan hal yang sama. Lukman berpendapat, fraksinya menghargai jawaban pemerintah yang disampaikan melalui Menko Perekonomian Boediono dan Menkeu Sri Mulyani tersebut.
â€Å“Memang ada hal-hal yang ingin kita pertanyakan kembali untuk minta klarifikasi terhadap jawaban-jawaban pemerintah. Karena menyangkut waktu yang terbatas, akan lebih baik dilanjutkan pada waktu berikutnya,â€� kata Lukman.
Selain meminta waktu untuk diagendakan persidangan berikutnya, hampir semua fraksi menilai, jawaban Presiden kurang memuaskan. Hanya FPD yang menyatakan jawaban pemerintah cukup jelas.
â€Å“Jawaban yang disampaikan cukup komprehensif sekali dan cukup jelas. Namun bagi anggota yang belum puas sebaiknya dapat ditindaklanjuti pada waktu lain sehingga butuh pendalaman,â€� ujar Ketua FPD Syarif Hasan.
Sebelumnya, sidang sempat diskors selama 1,5 jam mulai pukul 11.30 WIB hingga pukul 13.00 WIB. Padahal, skors yang disediakan oleh pimpinan sidang hanya 30 menit.
Belum ditentukan kapan berlangsungnya sidang interpelasi Jilid II. Bamus DPR akan mengagendakannya nanti.
Absen ke DPR, SBY Terima Dubes Thailand dan Kuwait
Presiden SBY memilih absen ke DPR. Dia punya agenda lain di Istana Merdeka, menerima Dubes Thailand Akrasid Amatayakul dan Dubes Kuwait Faisal Sulaiman Ali Musaileem.
Dua dubes yang ditempatkan di Jakarta ini disambut upacara penyambutan.
Pukul 10.15 WIB, Selasa (12/2) keduanya diterima Presiden SBY di Ruang Credential Hall, Istana Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta. Mereka menyerahkan surat-surat kepercayaan kepada SBY.
Kedua dubes kemudian beramah tamah dengan SBY yang didampingi Menlu Hassan Wirajuda dan Seskab Sudi Silalahi.
Absen Interpelasi BLBI PDIP Tuding SBY Cuci Tangan
Presiden SBY mengirim sejumlah menteri dan pejabat tinggi negara untuk menghadapi DPR dalam sidang interpelasi BLBI. Ketidakhadiran SBY dianggap sebagai bentuk cuci tangan.
â€Å“Memang hak Presiden hadir atau tidak, tapi ketidakhadiran Presiden berarti Presiden cuci tangan. Bukankah ini warisan seniornya, almarhum Soeharto,â€� kata Ketua FPDIP Tjahjo Kumolo kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (12/2).
PDIP, imbuh dia, sebetulnya sudah memperkirakan ketidakhadiran SBY dalam menjawab interpelasi BLBI. Karena itu PDIP berharap penanganan kasus ini tidak jalan di tempat.
â€Å“Kasus BLBI kewenangan pemerintah untuk proaktif menyelesaikannya, yang penting ada langkah dan berani mengambil sikap terhadap penyelesaian kasus ini dengan keputusan-keputusannya,â€� ujar dia.
Dia juga meminta pemerintah tetap berpegang pada UU yang berlaku dalam menyelesaikan kasus ini.
â€Å“Jangan sampai kasus BLBI jadi mainan politik partai atau DPR. Karena itu pemerintah harus melakukan tindakan terhadap obligor BLBI yang tidak menunjukkan itikad baiknya,â€� kata dia.
Andi Mallarangeng: SBY Cuci Piring, Bukan Cuci Tangan
Ketidakhadiran Presiden SBY dalam interpelasi BLBI di DPR berbuah hujan interupsi. FPDIP menilai SBY cuci tangan. Namun Istana punya jawaban lain.
â€Å“Cuci piring itu menyelesaikan persoalan, kalau cuci tangan lari dari persoalan. SBY tidak lari dari persoalan, tapi menyelesaikan persoalan, walaupun bukan kebijakan yang diambil pemerintah,â€� kata Jubir Presiden Andi Mallaranggeng di Istana Negara, Jl Veteran, Jakarta, Selasa (12/2).
Andi menegaskan ketidakhadiran SBY. Menurutnya, para menteri yang dikirim SBY sudah mempersiapkan jawaban terbaik atas segala pertanyaan DPR.
â€Å“Lihat baik-baik tatibnya, sejak dulu sama, bisa diwakilkan menteri. Sewaktu Mega diinterpelasi soal Sipadan-Ligitan, yang dikirim waktu itu SBY,â€� cetus Andi.
Andi menjelaskan, pemerintah membongkar file-file lama dari pemerintahan sebelumnya mengenai kronologi kasus BLBI. Pemerintahan SBY tidak ingin menyalahkan atau menjustifikasi, namun membiarkan fakta-fakta yang berbicara dalam sidang interpelasi.
â€Å“Kenapa dana recovery rendah, tanya pemerintahan sebelumnya yang mengeluarkan release and discharge. Sayang tidak ada aturan menginterpelasi pemerintahan sebelumnya,â€� pungkas Andi.
Massa Datangi DPR, Lalu Lintas Tersendat Hingga ke Tol
Arus lalu lintas di Jalan Gatot Subroto mulai tersendat hingga ke jalan Tol Dalam Kota.
Kepadatan di jalan ini karena adanya aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR/MPR, Selasa (12/2).
Informasi dari TMC Polda Metro Jaya massa mulai berdatangan dengan menggunakan 10 Metro Mini.
Petugas Tol Jasa Marga Heri menyebutkan, arus lalu lintas di Tol Dalam Kota dari Cawang menuju Tomang mulai tersendat.
Kepadatan di jalan ini selain karena ada aksi unjuk rasa juga karena ada truk kontainer yang mogok di kilometer 7. Petugas Jasa Marga saat ini tengah menangani truk kontainer yang mengalami pecah ban itu. (Ant/detikcom/i)

Sumber: http://antikorupsi.org/indo/content/view/7288/2/

Tiga Debitor Berjanji di Istana; Sedia Kembalikan Utang BLBI

PDF

Cetak

E-mail

Selasa, 07 Pebruari 2006

Upaya mengembalikan uang negara mendapat respons positif. Kemarin tiga orang datang ke Istana Kepresidenan dan menyatakan kesediaannya mengembalikan utang yang pernah diterima. Ada yang akan mengembalikan Rp 651 miliar, Rp 190 ,dan Rp 123 miliar. Selain mereka, ada sejumlah nama yang sudah menyatakan niatnya meniru langkah Atang Latief. Atang yang memiliki utang bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Rp 170 miliar itu semula bersembunyi di Singapura. Setelah berulang-ulang pemerintah mengeluarkan imbauan, akhirnya dia pulang dan menyatakan kesaediaannya mengembalikan uang negara tersebut. Langkah Atang menyusul penangkapan terhadap David Nusa Widjaja yang mempunyai utang Rp 1,29 triliun. Yang jelas, sudah ada tiga orang yang ingin mengembalikan utang mereka, di samping beberapa orang lagi. Mereka melihat Atang Latief dan ingin menyelesaikan kewajiban seperti Atang Latief, kata Kapolri Jenderal Pol Sutanto. Menurut Sutanto, ketiga orang yang datang ke istana kemarin adalah wakil tiga debitor BPPN. Mereka bernama Ulung Bursah (Bank Lautan Berlian), Lukman Hastanto, menantu Atang Latief, dan satu lagi bernama James. Tiga wakil debitor BPPN itu bertemu Kapolri Jenderal Sutanto, Menko Perekonomian Boediono, Menkeu Sri Mulyani Indrawati, Jaksa Agung Abdul Rachman Saleh, dan Ketua Timtastipikor Hendarman Soepandji. Sekitar pukul 16.00, ketiganya muncul di istana bersama Wakil Kepala Bareskrim Irjen Pol Gories Mere dan Wakil Direktur II Bidang Ekonomi Mabes Polri Kombes Pol Beni Mamoto. Saat itu presiden dijadwalkan bertemu Menko Kesra Aburizal Bakrie, Menko Perekonomian Boediono, Mendiknas Bambang Soedibyo, dan Menkeu Sri Mulyani. Namun, pertemuan itu dibatalkan setelah tiga debitor BPPN datang. Selama sekitar 90 menit, ketiga wakil debitor BPPN itu melakukan pertemuan dengan jaksa agung, Kapolri, ketua Timtastipikor, Menkeu, dan Menko Perekonomian di ruang tunggu Kantor Kepresidenan. Ruang tunggu itu biasa digunakan para anggota kabinet sebelum sidang. Pada saat pertemuan berlangsung, Menhuk dan HAM Hamid Awaluddin dan Ketua KPK Taufiequrrahman Ruki datang. Saya tidak tahu, panggilannya mendadak, ujar Taufiequrrahman Ruki. Ketika dicegat usai rapat, ketiga wakil debitor BPPN tidak bersedia memberikan keterangan. Bahkan, mereka terlibat adu lari dengan puluhan wartawan. Maaf, tidak ada keterangan, kata Lukman sambil berlari melintasi halaman istana. Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, Hendarman Soepandji, dan Sutanto langsung mengikuti rapat terbatas yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, Menkeu Sri Mulyani Indrawati mengakui terdapat wacana untuk mempercepat pengembalian aset eks BPPN dan pelunasan kewajiban BLBI. Secara lisan atau wacana sudah ada di beberapa instansi. Tapi, mekanisme dan implikasinya bagaimana, masih harus dikoordinasikan antar beberapa instansi, Depkeu, kejaksaan, kepolisian, dan Menko Perekonomian, kata Ani -sapaan Sri Mulyani. Meski demikian, Ani menolak mekanisme itu serupa dengan release and discharge yang pada masa Boediono menjabat menteri keuangan di era Presiden Megawati Soekarnoputri. Ini mekanisme hukum. Nanti akan kita bandingkan dengan apa-apa yang selama ini kita lakukan pasca penutupan BPPN, ujarnya. Berdasar informasi, sebenarnya cukup banyak banker bermasalah yang ingin menyelesaikan kewajiban. Namun, niat itu terkendala ketika BPPN tutup dan tidak ada lagi lembaga yang menangani pengembalian aset. Namun, Kapolri membantah, ketiga orang yang datang ke istana kemarin ingin bertemu Presiden SBY. Ketiganya datang karena garansi Kapolri untuk bertemu pejabat-pejabat terkait yang kebetulan tengah mengadakan rapat kabinet di istana. Memang, katanya, mereka membicarakan teknis pengembalian yang digagas masing-masing lembaga, di bawah koordinasi Menko Perekonomian. Ketika ditanya tentang kelanjutan proses hukum, Kapolri meminta untuk dilihat kasus per kasus. Pasalnya, ada beberapa klasifikasi bank, yakni sehat, cukup sehat, kurang sehat, dan tidak sehat. Yang kurang sehat dan tidak sehat mungkin ada missmanagement, mungkin ada penyelewengan. Sementara itu, Lukman Astanto, menantu Atang Latief, kemarin kembali muncul di Bareskrim Polri. Saat ditanya koran ini dia mengatakan, ayahnya berkali-kali bicara untuk melunasi kewajibannya sebelum mati. Doakan saja kita akan cepat memenuhi kewajiban itu. Kabareskrim Komjen Pol Makbul Padmanagara, Wakabereskrim Irjen Pol Gories Mere, dan penyidik kasus Atang Kombespol Benny Mamoto memilih diam saat ditanya tentang perkembangan penanganan kasus Atang. (dni/noe/naz/gup) Sumber: Jawa Pos, 7 Februari 2006

Sumber: http://www.eramuslim.com/berita/nasional/dpr-disesalkan-presiden-terima-kedatangan-pengemplang-dana-blbi.htm

DPR: Disesalkan Presiden Terima Kedatangan Pengemplang Dana BLBI

Sabtu, 11/02/2006 14:19 WIB Cetak | Kirim | RSS

DPR RI mempertanyakan sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menerima tiga debitor BLBI di Istana Negara beberapa waktu lalu. Karena kedatangan mereka itu akan menimbulkan berbagai spekulasi negatif di masyarakat.

“Mengurus utang itu kan tidak harus menemui presiden, bisa juga dengan menterinya dan lain-lain. Dengan bertemu SBY, maka akan menimbulkan dugaan-dugaan negatif di masyarakat,” kata Ketua DPR RI Agung laksono pada wartawan di Gedung MPR/DPR RI Jakarta, Jumat (10/2).

Agung Laksono mengatakan, DPR berharap bisa menjelaskan hal itu pada masyarakat agar terhindari dari prasangka dan dugaan yang aneh-aneh di masyarakat. Apakah melalui Mensesneg Yusril Izha Mahendra, ataupun Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi untuk klarifikasi itu.

Hal senada diungkapkan Ketua Fraksi PAN Abdillah Toha jika kehadiran tiga anggota BLBI ke istana adalah berlebihan. Dikatakannya, istana adalah lembaga terhormat dan lembaga tinggi yang harus tetap dijaga kredibilitasnya.

"Itu aneh dan berlebihan. Itu tidak boleh terulang. Sebab, kalau para debitor itu meminta jaminan hukum tidak perlu sampai datang ke istana tapi cukup melalui Kejaksaan Agung, "ujar Abdillah Thoha.

Menurutnya, langkah debitor BLBI itu berlebihan dan kalau mereka meminta sesuatu dan dituruti katanya nanti pemerintah yang dirugikan, yaitu uangnya tidak kembali dan orangnya malah bebas. Untuk itu pemerintah harus bersikap tegas, jangan asal menerima. “Saya yakin mereka itu datang ada yang nyuruh dan bukannya inisatif sendiri,” tegas dia. (dina)

Sumber: http://202.146.4.17/read/xml/2008/02/12/00141094/interpelasi.blbi.tanpa.kehadiran.presiden.lagi

Interpelasi BLBI Tanpa Kehadiran Presiden Lagi

Selasa, 12 Februari 2008 | 00:14 WIB

JAKARTA, SENIN - Untuk kesekiankalinya, Dewan Perwakilan Rakyat gagal meminta kehadiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menjawab interpelasi. Untuk interpelasi kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, Presiden Yudhoyono akan mewakilkan kehadiran dan jawabannya melalui para pembantunya.

Saat interpelasi kasus BLBI digelar di Gedung DPR-RI, Selasa 12 Februari 2007, Presiden Yudhoyono akan menggelar acara di Istana Merdeka dengan menerima Duta Besar Thailand untuk Indonesia dan Duta Besar Kuwait untuk Indonesia. Dua duta besar itu akan menyerahkan surat-surat kepercayaan kepada pemerintah Indonesia melalui Presiden Yudhoyono.

Acara di Istana Merdeka dimulai pukul 10.00 WIB, sementara acara interpelasi BLBI di Gedung DPR rencananya dimulai pukul 09.00 WIB. Setelah acara di Istana Merdeka, Presiden Yudhoyono akan menerima Dewan Pimpinan Matakin di Kantor Presiden pukul 14.00 WIB.

Semua acara Presiden Yudhoyono diperoleh dari Biro Pers dan Media Istana Kepresidenan. Dari sumber yang sama, tidak diinformasikan adanya acara Presiden Yudhoyono di Gedung DPR. Untuk menjawab interpelasi BLBI, sembilan pembantu Presiden Yudhoyono yang diminta menyiapkan jawaban adalah Menko Polhukam Widodo AS, Menko Perekonomian Boediono, Menko Kesra Aburizal Bakrie, Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa, Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.Tiga pembantu Presiden Yudhoyono yang lain yang diminta menyiapkan kawaban adalah Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, Kepala Polri Jenderal Sutanto, dan Jaksa Agung Hendarman Supandji.

Sumber: http://www.detiknews.com/read/2006/02/08/120041/534910/10/sby-diminta-jelaskan-konsep-penyelesaian-kasus-blbi

Rabu, 08/02/2006 12:00 WIB
SBY Diminta Jelaskan Konsep Penyelesaian Kasus BLBI
Iqbal Fadil - detikNews

Jakarta - Jika di era Megawati ada kebijakan release and discharge (R&D), kini konsep penyelesaian kasus BLBI era SBY dipertanyakan. Terlebih lagi dengan kedatangan 3 pengemplang BLBI ke Istana tanpa terlebih dulu mengantongi Surat Keterangan Lunas (SKL). Kebijakan R&D saja saat itu sudah mengundang pro dan kontra, karena pengemplang yang kasusnya dalam tahap penyidikan bisa dihentikan. Sedangkan yang dalam proses hukum bisa berakhir tanpa tuntutan. Kuncinya adalah dengan mengantongi SKL. "Pemerintah jangan keluar dari konsep pemerintah sebelumnya. Dulu kebijakan R&D merupakan sebuah keputusan politik yang mendapat persetujuan dari DPR. Sasarannya adalah para debitor yang kabur agar mau mengembalikan uang negara," ujar Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan ketika dihubungi detikcom, Rabu (8/2/2006). Untuk itu, Presiden SBY diminta untuk menjelaskan konsep penyelesaian kasus BLBI yang akan dilaksanakan. Hal ini diperlukan agar tidak ada diskriminasi hukum atau pun perlakuan istimewa yang diterima para pengemplang dana BLBI. Kedatangan tiga pengemplang BLBI ke Istana pada 6 Februari, menurut Trimedya, sebagai hal yang berlebihan dan bisa merusak kredibilitas Istana sebagai simbol yang sakral. Dia mengaku tidak mengetahui apakah tindakan tersebut merupakan inisiatif Kapolri atau inisiatif dari kalangan Istana. "Ini ada apa? Kalau cuma bertemu dengan departemen teknis, kan bisa difasilitasi oleh Kapolri. Tapi asumsi saya ini sudah dikoordinasikan oleh keduanya. Tidak mungkin orang Istana tidak tahu apa-apa," cetus Trimedya. Sampai hari ini, dari berbagai rapat kerja antara Komisi III dengan Kapolri dan pemerintah, belum didapatkan kejelasan rencana seperti apa yang akan dilaksanakan pemerintah perihal pengembalian dana BLBI. Memang, Jika pemerintah mengutamakan kembalinya uang yang dikemplang, itu akan berpengaruh terhadap proses hukum yang dikenakan, karena para pengemplang memiliki posisi tawar yang kuat. Bila memang itu yang menjadi keputusan pemerintah, Trimedya menegaskan, DPR akan mengawasi dan akan terus mengingatkan proses pengembalian uang tidak serta-merta menghapuskan unsur pidana. Pemerintah juga harus membuat terobosan agar proses hukum dan pengembalian uang negara berjalan paralel. "Yang paling penting, kasus ini harus dijelaskan kepada publik, berapa sebenarnya utang mereka, dan dengan cara ini, berapa uang negara yang bisa dikembalikan. Masyarakat jangan diberikan informasi sesat. Dan harus diingat, ini tidak menghapuskan pidana. Untuk itu pemerintah harus selektif dalam melakukannya," tandas Trimedya. (bal/)

Sebuah Jurnal Pemikiran

SBY Tidak Serius Menangani Kasus BLBI: Rakyat Menggugat!!

Author: Edo Segara /

SUDAH sebulan ini kasus BLBI mulai ramai lagi di arena politik negeri ini. Maklum kasus ini merugikan uang negara hampir 600 trilyun. Bukan angka yang kecil, bahkan nilainya hampir sama dengan nilai hutang luar negeri Indonesia. Ramai-ramai DPR pun mengajukan interpelasi terkait kasus ini. Namun untuk kesekian kali pula, SBY tidak hadir dalam sidang Interpelasi yang diajukan oleh DPR. Ini merupakan bukti ketidakseriusan Pemerintahan SBY-JK untuk menyelesaikan kasus ini. SBY tidak merasa kasus ini adalah kesalahan yang dialakukannya. Yang paling ironis SBY justru menyambut dengan karpet merah kedatangan 4 obligor BLBI di Istana, diantaranya adalah Atang Latief, Ulung Bursa, James Januardi, Omar Puthirai (Kompas, 7 Februari 2006).

Penerimaan para obligor BLBI di istana tentu saja merupakan penghormatan yang berlebihan sekaligus tidak wajar bagi para obligor yang sudah berstatus sebagai tersangka korupsi tersebut. Apalagi mengingat, sebagai catatan, pada bulan yang sama Presiden SBY sempat menolak permintaan resmi sejumlah tokoh nasional seperti Try Sutrisno, Amien Rais, Wiranto, Drajad Wibowo, Marwah Daud, dan lain-lain untuk beretemu dalam rangka menyampaikan aspirasi sengketa Blok Cepu. Ketidaktegasan pemerintah juga terjadi terhadap penyelesaian kasus hukum mantan penguasa Orde baru, Soeharto. Sampai pada akhirnya Soeharto meninggal dunia.

Dalam kasus BLBI ini hampir semua pihak berperan melakukan kesalahan. Mulai penyimpangan yang dilakukan oleh BI, Inkonsistensi aparat penegak hukum, KKN dalam BPPN, Mantan Presiden Soeharto, Mantan Presiden Habibie, Mantan Presiden Megawati, IMF dan para Obligor yang saat ini beberapa diantaranya tercatat menjadi orang terkaya di Indonesia. Sungguh ironis negara ini, ramai-ramai pejabat merampok uang negara yang berakibat pada pencabutan subsidi BBM, Pendidikan dan kesehatan. Andai saja SBY serius menangani kasus ini, maka uang sebesar 600 Triliun bisa diselamatkan guna membayar hutang luar negeri Indonesia. Sehingga bukan rakyat yang harus menanggung bebannya melalui pajak dan pencabutan subsidi.

Dalam kaitan ini, kami menuntut pemerintah, DPR, dan institusi penegak hukum untuk melaksanakan 10 langkah sebagai berikut:

Menuntaskan penyelesaian kasus BLBI secara hukum, melalui proses yang objektif, berkeadilan, dan berpihak pada kepentingan publik, serta di sisi lain bebas dari konspirasi, negoisasi-negoisasi rahasia, deal-deal politik, dan berboncengan kepentingan-kepentingan tertentu yang menjadikan obligor sebagai objek pemerasan belaka. Kasus BLBI harus dituntaskan sekali untuk selamanya, once forever!

Mencabut Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang release and discharge dan meninjau ulang seluruh perangkat kebijakan lainnya terkait penyelesaian kewajiban BLBI yang tidak adil dan hanya memberi keuntungan dan keringanan sepihak bagi para obligor.

Menuntut IMF untuk bertanggung jawab atas manipulasi dan tekanan yang dilakukannya terhadap Pemerintah Indonesia di saat krisis pada tahun 1997, sehingga menyebabkan lahirnya berbagai kebijakan yang hjustru menghancurkan sendi-sendi perekonomian Indonesia.

Menciptakan terobosan untuk mempercepat proses penyelesaian kasus BLBI dengan membentuk Pengadilan Ad-Hoc dan menerbitkan PP atau Perpu yang mengatur pemberlakuan asas pembuktian terbalik bagi pelaku korupsi.

Mendesak Jaksa Agung agar segera menuntaskan skandal korupsi BLBI dan menyeret pelaku-pelakunya ke pengadilan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Menyita aset dan kekeyaan obligor yang hingga kini tidak menyelesaikan kewajibannya.

Mengusut tuntas dan mengadili semua pejabat negara yang terlibat dalam berbagai penyimpangan yang terjadi dalam kasus BLBI, mulai dari pembuatan kebijakan, pelanksanaan pengucuran, hingga penggunaan BLBI.

Mengupayakan seoptimal mungkin pengembalian uang negara yang telah terkucur melalui BLBI dan berbagai kebijakan penggelontoran uang negara lainnya ke sektor perbankan di saat krisis.

Melakukan upaya untuk menghentikan pemberian subsidi bagi pihak perbankan melalui penghentian pembayaran bunga obligasi rekap.

Menghentikan divestasi saham-saham pemerintah pada bank-bank rekap, sampai obligasi rekap yang berada pada bank bersangkutan berhasil ditarik seluruhnya oleh pemerintah.

Secara khusus, kami pun menghimbau para obligor untuk menggunakan hati nuraninya dan mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum serta mengembalikan uang negara yang telah dinikmatinya kepada pemerintah. Berhentilah membebani rakyat Indonesia dengan pembayaran kewajiban utang yang bahkan tidak sedikitpun mereka rasakan!!

Sumber Tulisan: Buku ”Skandal BLBI: Ramai-ramai Merampok Negara”, Marwan Batubara, dkk. Penerbit Haekal Media Center

Sumber: http://www.gp-ansor.org/berita/14-ormas-islam-desak-sby-segera-menuntaskan-kasus-blbi.html

14 Ormas Islam Desak SBY Segera Menuntaskan Kasus BLBI

Tuesday, 3 July 2007 7:18

Jakarta (GP-Ansor): Desakan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menuntaskan kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) kembali menguat. Tuntutan itu muncul dari empat belas ormas berbasis Islam yang merasa pemerintah cenderung melindungi para koruptor BLBI.

Ke-14 ormas itu adalah NU, Muhammadiyah, KAHMI, ICMI, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Al-Irsyad Al-Islamiyah, dan Dewan Masjid Indonesia. Lalu, Al-Wasliyah, Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) Indonesia, Wanita Islam, HMI, IMM, PMII, dan Persatuan Islam (Persis).

Komitmen untuk terus mengawal penuntasan kasus yang merugikan negara Rp 650 triliun itu dideklarasikan di Kantor Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Jalan Menteng Raya, Jakarta Timur, kemarin. Kecuali NU, seluruh perwakilan pengurus ormas hadir dalam acara tersebut. Meski demikian, Ketua Umum PB NU Hasyim Muzadi sudah menyatakan dukungannya.

“Pemerintah masih setengah hati menuntaskan kasus BLBI. Bahkan, seperti dilindungi,” kata Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin kemarin.

Pernyataan Din itu menyindir langkah Presiden SBY yang telah menerima sejumlah debitor bermasalah BLBI di istana awal Februari 2006. Mereka, antara lain, Ulung Bursah (Bank Lautan Berlian), Lukman Hartanto (Bank Bira), dan James Januardy (Bank Namura Yasonta).

Menurut Din, amanat reformasi untuk memberantas korupsi tidak ada artinya kalau kasus BLBI tidak mampu diselesaikan pemerintah. “Jihad melawan koruptor BLBI harus terus diperjuangkan sampai tuntas,” tandasnya. Untuk itu, Din merekomendasikan pembentukan kelompok kerja (pokja) yang secara intensif akan mempersiapkan agenda-agenda koalisi ormas Islam tersebut.

Ketua Harian Presidium Majelis Nasional KAHMI Abdul Asri Harahap meminta Presiden SBY, jaksa agung, dan menteri keuangan untuk menuntaskan kasus BLBI secepatnya. “Kalau tidak mampu, sebaiknya presiden berjiwa besar dengan mundur saja. Tidak usah menunggu 2009,” katanya. Menurut Abdul, pemerintah harus bersikap tegas dengan menyita semua aset para koruptor BLBI.

Ketua Umum Persatuan Islam (Persis) KH Shidiq Aminullah menambahkan, penegakan hukum kasus korupsi BLBI dilakukan untuk menyelamatkan bangsa dari kehancuran. Shidiq mengutip sebuah hadis yang menyebut kehancuran sebuah bangsa disebabkan ketidakadilan. “Salah satu bentuk ketidakadilan adalah bila pejabat dan pengusaha korupsi dibebaskan, namun kalau rakyat yang mencuri segera dijatuhi hukuman,” ujarnya.

Dia juga menyampaikan, potensi besar dana BLBI yang digelapkan para obligor seharusnya bisa digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. “Tapi, itu tinggal mimpi,” katanya.

Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Aviliani menegaskan, kasus BLBI tak kunjung tuntas karena kerap menjadi komoditas politik. Buktinya, antara lain, pembebasan obligor dari tuntutan hukum dengan penerbitan surat keterangan lunas (SKL), menandatangani akta pengakuan utang (APU), dan penjaminan aset Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA). “Di sisi lain, pemerintah harus mengalokasikan Rp 40 triliun per tahun dari APBN untuk membayar suku bunga SBI ke sejumlah bank,” jelasnya.(jp/aji)

Sumber: http://forum.detik.com/showthread.php?t=103078

Sby malah terima obligor BLBI dgn karpet merah Istana !!!


Dari 48 obligor BLBI, sebagian besar telah dibereskan oleh rejim mega, dgn segala ketidaksempurnaannya. Sedangkan yg belum diselesaikan oleh Mega (krn obligor blm memenuhi kewajibannya sesuai skema yg ada), maka diberikan kpd rejim berikutnya yaitu Sby.
Berikut adalah obligor yg seharusnya ditangani rejim Sby :

Quote:

Daftar Obligor yang belum memenuhi kewajibannya
No.
Nama Pemegang Saham
Nama Bank
Nilai Utang
(dalam miliar)

1
Atang Latief
Indonesia Raya
325,46
2
James Januardy
Adissaputra Januardy
Namura Internusa
123,04
3
Ulung Bursa
Lautan Berlian
615,44
4
Lidia Mochtar
Tamara
202,80
5
Omar Putirai
Tamara
190,17
6
Marimutu Sinivasan
Putera Multikarsa
1.130,61
7
Kaharudin Ongko
BUN
8.348,00
8
Samadikun Hartono
Modern
2.663,0
Sumber: Koran tempo 15 April 2004, /BPPN, kompas, 1 Mei 2004.

Quote:

Daftar bankir yang dilimpahkan ke Tim Pemberasan
No.
Nama Pemegang Saham
Bank
Perjanjian
Nilai Utang
(dalam miliar)

1
Atang Latief
Indonesia Raya
APU
325,46
2
James Januardy
Adissaputra Januardy
Namura Yasonta
APU
123,04
3
Ulung Bursa
Lautan Berlian
APU
615,44
4
Lidia Mochtar
Tamara
APU
202,80
5
Omar Putirai
Tamara
APU
190,17
6
Marimutu Sinivasan
Putera Multikarsa
APU
1.130,61
Sumber: Koran tempo 18 Oktober 2004.

Quote:

Daftar Bankir Yang diserahkan ke Kepolisian
No
Nama Pemegang Saham
Bank
Perjanjian
Nilai Utang
(dalam miliar)

1
Baringin Pangabean
Joseph Januardy
Namura Internusa
APU
158,93
2
Santosa Sumali
Metropolitan
APU
46,55
3
Fadel Muhammad
Intan
APU
93,28
4
Santosa Sumali
Bahari
APU
295,05
5
Trijono Gondokusuma
PSP
APU
3.3031,11
6
Hengky Wijaya
Taony Tanjung
Tata
APU
461,99
7
I Gde Dermawan
Made Sudiarta
Aken
APU
680,89
8
Tarunojoyo Nusa
David Nusa Widjaya
Umum Servitia
APU
3.336,44
9
Kaharudin Ongko
BUN
MRNIA
8.348,00
13
10
Samadikun Hartono
Modern
MRNIA
2.663,0

Itulah sisa2 soal BLBI yg seharusnya ditangani oleh rejim setelah Mega, siapapun dia. Tapi apa yg telah dilakukan Sby ?

Sepertinya kita sangat jarang mendengar bagaimana akhir dari kasus2 tersebut. Kecuali tahun 2007 ketika jagung baru Hendarman Supandji berkomitmen membuka beberapa kasus BLBI. Tapi hasilnya apa ? Hasilany adalah : Jaksa Urip, Kemas dan Ayin bersekongkol menutupi kasus Syamsul Nursalim. Dan akhirnya nasib Urip dan Ayin berakhir di penjara. Itulah tragedi penanganan kasus BLBI era Sby. Memang ada yg dipenjara, tapi ternyata yg dipenjara adalah penegak hukum itu sendiri yg notabene adalah anak buah Sby juga. Ironis !!

Oya, ada satu lagi "prestasi" sby dlm penanganan BLBI yaitu keluar masuknya obligor BLBI ke istana yg milik rakyat itu. Entah apa yg dihasilkan dari pertemuan2 seperti, hanya SBY, OBLIGOR BLBI, dan Tuhan saja yang tahu...

Sumber: http://www.detiknews.com/read/2006/03/02/095531/551144/10/tak-ada-moratorium-korupsi

Kamis, 02/03/2006 09:55 WIB
Ulasan Media
Tak Ada Moratorium Korupsi
Didik Supriyanto - detikNews

Jakarta - Edisi Kamis (2/3/2006) ini, Kompas dan Media Indonesia mengangkat pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tentang pemberantasan korupsi. Sudah beberapa pekan SBY tak berbicara soal ini, sehingga pernyataannya kali ini ditunggu. Kita menunggu karena dalam sebulan terakhir ini muncul dua peristiwa yang terkait korupsi di Istana Negara, tempat presiden berkantor sehari-hari. Pertama adalah datangnya empat debitor BLBI yang sempat kabur ke luar negeri; kedua adalah terbongkarnya katebelece Sekretaris Kabinet (Seskab) Sudi Silalahi untuk renovasi Gedung KBRI Seoul. Terhadap kasus katebelece Sudi, dua hari lalu, Presiden SBY sudah mengingatkan agar masyarakat tidak terbawa pada usaha untuk mencemarkan nama baik seseorang, apalagi sampai menghukum seseorang, bila tidak mempunyai bukti yang akurat. Dia menyarankan agar kasus ini biar ditangani yang berwajib. Tampak SBY sedang membela Sudi, pembantu setianya. Meski demikian, dari pernyataannya, SBY tidak sedang berusaha menghentikan pembahasan kasus ini secara luas. Dia hanya minta semua pihak bersikap fair dan terbuka untuk memastikan ada tidaknya pelanggaran hukum dalam kasus katebelece ini. Di tengah-tengah kunjungannya di Kamboja, Rabu (1/3/2006) kemarin, Presiden SBY menjawab kritik sejumlah pihak atas kedatangan empat debitor BLBI ke istana. Presiden menegaskan, tidak ada koruptor yang diberi 'karpet merah' untuk masuk lingkungan istana. Memang, kedatangan empor debitor BLBI ke istana pada awal Februari lalu sempat menimbulkan kritik dari banyak kalangan. Mestinya para koruptor itu langsung ditangkap dan dimasukkan ke bui karena sempat melarikan diri ke luar negeri; tidak malah diperkenankan masuk istana dengan kawalan polisi. Menurut SBY, sama sekali tidak ada yang salah tentang kedatangan debitor BLBI di istana. Kedatangan mereka ke istana justru sebuah upaya pemerintah agar para pengutang itu dapat mengembalikan uang negara. Dulu, mereka menjadi objek pemerasan; sekarang semuanya harus diurus secara terang benderang, transparan. "Dulu itu kalau ada debitor yang mau mengembalikan (uang negara), masuknya miring. Tetapi sekarang sayang ingin semua masuknya lurus. Ini agar semuanya jelas," kata SBY. Oleh karena itu kedatangan debitor ke istana tidak harus menimbulkan syak wasangka. "Koruptor itu dicari untuk mengembalikan uang negara. Kalau harus kembalikan kewajiban ke negara, ya kembalikan. Jika harus menjalankan hukuman, ya jalankan hukuman itu. Tolong kita bicara jernih dan rasional. Jangan membuat rakyat bingung," tegas SBY. Mungkin tetap ada pihak yang tidak bisa menerima argumen SBY ini. Namun, SBY telah menjelaskan duduk masalahnya, latar belakang dan tujuan di balik kedatangan debitor ke istana. Oleh karena itu, yang kita harapkan dari SBY adalah satunya kata dengan tindakan: mengembalikan uang negara, menghukum mereka yang salah. Meski vonis atas beberapa perkara korupsi akhir-kahir ini menguntungkan para terdakwa pelaku korupsi, namun dari waktu ke waktu kita melihat kesungguhan polisi dan jaksa untuk terus memburu para koruptor. Kita mungkin belum puas dengan kinerja mereka, dan justru karenanya kita mesti beri dukungan terus agar kinerjanya semakin meningkat. Jangan sampai kita berpikir ulang untuk menghentikan pemberantasan korupsi, dengan dalih pemberantasan korupsi bisa menganggu kegiatan ekonomi nasional, karena korupsi sudah merupakan bagian dari sistem sosial ekonomi. Mungkin benar, pemberantasan korupsi telah menghambat laju pengiriman barang, karena uang sogokan adalah oli dari kegiatan ekspedisi. Mungkin benar, pemberatasan korupsi telah menyebabkan proyek-proyek pemerintah tertunda karena tidak ada orang birokrat yang berani menjadi kepala proyek, dan tidak ada perusahaan yang bisa memenuhi ketentuan tender. Tapi semua itu bukan merupakan dalih untuk menghentikan pemberantasan korupsi. Korupsi telah merusak dan merasuk dalam sistem dan tatanan sosial kita. Mereka yang diuntungkan dalam sistem yang korup, pasti akan melawan dengan berbagai cara untuk menghentikan pemberantasan korupsi. Namun, kita tidak perlu berpikir untuk berbaik-baik sama mereka. Pemberantasan korupsi harus jalan terus. Dalam hal ini, kita harus dukung komitmen Presiden SBY. "Ada yang memberikan pandangan untuk moratorium, berhenti saja dulu. Saya katakan tidak mungkin arus besar (pemberatasan korupsi) ini dihentikan. Yang mungkin adalah kita koreksi dan evaluasi kalau ada penyimpangan dan penegakan hukum." (asy/)