Friday 5 June 2009

Boediono dan Penualan 7 BUMN (3)

Sumber: http://rusdimathari.wordpress.com/2009/05/25/pak-boed-yang-tidak-saya-kenal-3/

Pak Boed yang Tidak Saya Kenal (3)

BoedionoMerujuk kepada Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 junto Perpres No. 111 /2007 tentang Daftar Negatif Investasi, investasi asing pada bisnis telekomunikasi jaringan tetap (fixline) ditetapkan maksimal sebesar 45 persen. Namun Indosat rupanya merupakan pengecualian. Kali pertama Indosat dijual kepada STT (Temasek) 15 Desember 2002, menteri BUMN waktu itu dijabat oleh Laksamana Sukardi (sekarang menjadi petinggi di Partai Demokrasi Pembaruan, pecahan PDIP, yang sekarang juga merapat ke Yudhoyono) dan Boediono sebagai menteri keuangan.

oleh Rusdi Mathari
Sebelum reformasi, tak ada yang memerhatikan nama Boediono, kecuali majalah Ummat yang menjelang runtuhnya kekuasaan Soeharto di tahun 1998, pernah menempatkannya sebagai orang yang pantas menjadi Gubernur Bank Indonesia. Saat itu Boediono adalah Direktur II (Bidang Akuntasi) BI. Dia kemudian mulai menarik perhatian ketika Presiden B. J. Habibie melantiknya sebagai Kepala Bappenas.

Nama Boediono semakin menjadi perhatian, saat dia lantik Presiden Megawati sebagai menteri keuangan, Jumat 10 Agustus 2001. Habis masa jabatan Megawati, Boediono dipercaya menjadi Menko Perekonomian oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Lalu tahun silam, setelah dua calon Yudhoyono masing-masing Dirut Bank Mandiri Agus DW Martowardojo dan Wakil Dirut Perusahaan Pengelola Aset (metamorfosis BPPN) Raden Pardede— yang diajukan untuk menggantikan Burhanudin Abdullah sebagai Gubernur BI ditolak oleh anggota parlemen, Boediono dipilih oleh Yudhoyono untuk maju sebagai kandidat.

Hasilnya dalam uji kepatutan dan kelayakan di DPR, Senin 7 April 2008, Boediono mengantongi 45 suara dari 46 suara sah. Satu-satunya suara yang menolak Boediono adalah Dradjad Hari Wibowo, anggota DPR dari Fraksi PAN, yang kini bergabung menyokong pencalonan Jusuf Kalla-Wiranto. Boediono yang mendapat “restu” dari Senayan saat itu, untuk kali pertama telah menyelamatkan muka Yudhoyono.

Dengan menempati posisi penting dalam tiga pemerintahan era reformasi itu, Boediono nisacya memang banyak berurusan dengan seluk beluk keuangan negara, termasuk berurusan dengan BPPN dengan penjualan aset-asetnya. Bank Central Asia yang dijual kepada Farallon Capital Partners, 14 Maret 2002 adalah salah satunya.

Catatan tentang Boediono, akan tetapi tak hanya bersangkutpaut dengan aset-aset yang dikuasai BPPN. Rabu 28 April 2004, di depan Komisi IX DPR-RI, Boediono mengajukan usulan agar privatisasi sejumlah BUMN bisa dilakukan pada tahun itu. Ada 28 BUMN yang diusulkan Boediono untuk dijual, tujuh diantaranya diminta diprioritaskan pada tahun itu juga. Ketujuh BUMN itu adalah Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia (Bank BNI), PT Tambang Timah, PT Aneka Tambang, PT Tambang Batubara Bukit Asam, PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III, dan PT Merpati Nusantara Airlines.

Kalangan DPR waktu itu mengingatkan agar Boediono, menunda penjualan semua BUMN itu. Alasannya, waktu privatisai dinilai kurang tepat karena menjelang pelaksanaan Pemilu Presiden 2004. Jika penjualan BUMN itu tetap dilakukan, orang-orang di Senayan mengkhawatirkan hasilnya kurang optimal. Pada tahun itu, yang akhirnya dijual adalah PT Bank Negara Indonesia Tbk.

Sebanyak 30 persen saham BNI dilepas melalui penawaran umum kedua (secondary public offering). Ini adalah teknik “penjualan” yang paling aman, ketimbang penjualan melalui strategic sale yang sering menimbulkan lebih banyak penolakan.

Bank BNI semula merupakan bank terbesar di Tanah Air tapi sekarang hanya menempati urutan keempat dari sisi aset. Duduk di kursi Direktur Utama saat ini adalah Gatot Mudiantoro Suwondo yang menggantikan Sigit Purnomo. Gatot adalah suami dari adik perempuan Ani Yudhoyono.

Majalah Trust menulis, ketika menjadi direktur Bank Danamon, Gatot pernah dijadikan tersangka oleh polisi dalam skandal pembobolan bank itu sebesar Rp 110 miliar. Skandal itu melibatkan Edi Karsanto (pejabat di departemen keuangan). Oleh majalah yang sama disebutkan, sebagian dana itu disumbangkan untuk kepentingan pencalonan Yudhoyono pada Pemilu Presiden 2004 (lihat “Misteri Rekening Edi Karsanto,” Trust, 16-23 Agustus 2004). Namun sesuai catatan KPU, pada putaran pertama Pemilu Presiden 2004, Gatot “hanya” menyumbang Rp100 juta kepada pencalonan kakak iparnya itu.

Temasek
Dalam hal penjualan BUMN itu, yang paling menimbulkan kontroversi tentu adalah penjualan 41,94 persen saham PT Indonesia Satelit Tbk. alias Indosat. Penjualan itu secara resmi terjadi pada Minggu, 15 Desember 2002. Terungkap dalam siaran pers Kementerian Negara BUMN hari itu, saham Indosat telah dijual kepada Singapore Technologies Telemedia Pte Ltd. (STT) dan share purchase agreement telah diteken pada tanggal tersebut.

Belakangan diketahui pihak Singapura sebagai pembeli menggunakan mekanisme special vehicle yaitu STTC meskipun katanya saham STTC 99 persen dimiliki STT. Hal itu tentu saja menimbulkan kecurigaan alias kurang transparan. Misalnya, mengapa pihak pembeli bukan STT seperti yang diatur dalam share purchase agreement dan harus menggunakan special vehicle?

Yang mungkin menarik dari penjualan Indosat itu, adalah lobi-lobi tingkat tinggi yang lalu lalang mendahuluinya. Lobi-lobi itu terutama dilakukan oleh pejabat-pejabat dari STT dan Telkom Malaysia Bhd yang juga ikut tender. Lewat Temasek Holdings, induk usahanya, STT ketika itu dikabarkan mendekati Taufiq Kiemas, suami Megawati. Sementara pejabat Telkom Malaysia masuk melalui jalur Hamzah Haz, Wakil Presiden. Begitu sengitnya upaya lobi itu, Taufiq disebut-sebut mendesak Megawati untuk memilih Temasek.

Setidaknya begitulah yang pernah disebutkan oleh situs laksamana.net. Sempat berganti nama menjadi parasindo.com, situs laksamana.net saat ini telah berganti berisi konten tentang asuransi.

Lalu ketika Temasek akhirnya menjadi pemenang, gelombang protes mewarnai penjualan Indosat. Pemerintahan Megawati waktu itu dinilai gagal melindungi aset-aset strategis, termasuk Indosat yang bergerak di bidang jasa telekomunikasi dan satelit.

Temasek adalah raksasa telekomunikasi berpengaruh di Singapura. Pemegang saham terbesar Temasek adalah Lee Hsien Liong, Menteri Keuangan Singapura— putra Lee Kuan Yew, bekas PM Singapura, yang mewakili pemerintah Singapura.

Di Indonesia, konglomerasi ini sudah cukup lama dikenal karena keterlibatan bisnisnya dengan sejumlah taipan dan usahanya memburu sektor telekomunikasi. Nama Temasek paling tidak sudah dikenal ketika membentuk PT Bukaka Sing Tel pada tahun 1996. Perusahaan ini, kala itu, memenangkan tender pembangunan 403 ribu sambungan baru selama tiga tahun dengan nilai Rp 1,1 triliun.

Lewat STT pula, pada tahun 2001 Temasek termasuk investor yang paling sigap menawar saham PT Telkomsel. Usaha itu kemudian berbuah dengan mengantongi saham operator seluler terbesar di republik ini sebesar 35 persen. Temasek yang menguasai saham STT sampai 67,65 persen, dengan kalimat lain, secara tidak langsung juga menggenggam 23,7 persen saham Telkomsel.

Bersama Cargill Golden Agri Resources, Temasek juga masuk dalam pengelolaan dan pengembangan perkebunan minyak kelapa sawit di Indonesia. Bisnis ini semula hanya dimonopoli konglomerat seperti Eka Tjipta Wijaya, yang antara lain bekerja sama dengan Liem Sioe Liong dan Ciputra.

Cargill adalah salah satu perusahaan pengolah minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Luas perkebunannya lebih dari dari 258 ribu hektar dengan 16 fasilitas penambangan minyak kelapa sawit mentah. Tak mengherankan karena itu, Cargill memiliki posisi dan reputasi kuat dalam perdagangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Karena keperkasaan Cargill itulah, Temasek tertarik terjun di pengelolaan kelapa sawit Indonesia. Temasek berharap dari kerjasama dengan Cargill bisa membuka pasar kelapa sawit, setidaknya di Asia.

Ketertarikan Temasek masuk ke Cargill, karena di sana juga ada saham Liem Sioe Liong. Nama yang dianggap oleh Temasek dianggap sebagai jaminan nomor wahid. Lewat Salim Group, Liem memiliki 20 persen saham Camerlin Group, di mana Temasek juga mempunyai saham besar di dalamnya.

Camerlin adalah sebuah perusahaan investasi global yang aset terbesarnya ditanam pada Southern Steel Bhddan Brierley Investments Limited. Keluarga Liem dan juga Suharto, bekas Presiden RI sama-sama memiliki 24,4 persen saham Brierley Investments, yang mayoritas sahamnya juga dimiliki oleh Temasek.

Di luar Indonesia, gurita bisnis Temasek juga melilit di banyak negara, termasuk di Belgia dan Filipina. Di Thailand dengan membeli saham Advanced Info Service, sebuah perusahaan seluler yang memiliki 9,75 juta pelanggan. Di Hong Kong, Temasek mengantongi kepemilikan saham APT Satelite, penyedia jasa satelit telekomunikasi untuk kawasan Asia Pasifik. Temasek juga masuk di India melalui Bharti Grup, perusahaan yang bergerak di sektor jasa telepon seluler, telepon tetap, hingga satelit. Keikutsertaan Temasek itu, semuanya lewat STT.

Lalu sejak Sabtu 7 Juni 2008, Indosat dijual oleh Asia Mobile Holding Pte.Ltd kepada Qatar Telecom alias QTel seharga Rp 16 triliun atau melonjak lebih dari tiga kali lipat dibandingkan harga penjualan Indosat kepada STT yang Rp 5 triliun. Asia Mobile merupakan anak perusahaan Temasek. Perusahaan itu merupakan kongsi yang didirikan oleh Qatar Telecom dan STT dengan sebagian besar sahamnya (75 persen) dimiliki STT.

Dengan kata lain dalam waktu lima tahun, modal Temasek bukan saja telah kembali tapi bahkan sudah menangguk untung berlipat. Jika rata-rata setiap tahun Indosat membukukan laba Rp 1 triliun bisa dibayangkan, keuntungan yang dikantongi oleh Temasek selama lima tahun.

Indosat
Ada pun Indosat adalah perusahaan telekomunikasi yang sahamnya tercatat di Bursa Efek Indonesia, Jakarta dan New York Stock Exchange, Amerika Serikat. Sebagai operator seluler terbesar kedua di Indonesia, Indosat menguasai 28,6 persen pangsa pasar seluler GSM atau lebih dari 36,5 juta pelanggan.

Setelah dijual kepada STT, berdasarkan laporan tahunan resmi yang dikeluarkan Indosat, pajak yang diterima negara dari Indosat diketahui terus menurun. Semula Rp 724 miliar (2004), lalu menjadi Rp 697 miliar (2005) dan akhirnya Rp 576 miliar (2006). Dalam surat somasi bernomor 134/SAA-AWA/VII/08, yang ditujukan kepaa STT, pengacara A. Wirawan Adnan dan Iwan Priyatno dari Law Firm Sholeh.Adnan & Associates menyebutkan, penurunan itu ditengarai disengaja dan merupakan kejahatan sistematis akibat transfer pricing sesama perusahaan induk Temasek.

Disebutkan dalam surat somasi itu, dalam tiga tahun tersebut, auditor eksternal Indosat juga menemukan transaksi derivatif yang dilakukan oleh Indosat sebesar US$ 275 juta atau sekitar Rp 2.5 triliun. Transaksinya meliputi 17 kontrak perjanjian dengan berbagai institusi keuangan. Antara lain Goldman Sachs Capital New York, Standard Chartered Bank Jakarta, JP Morgan Chase Bank Singapore, Merril Linch Capital, Barclays Capital London, ABN Amro Bank, dan HSBC.

Akibat transaksi itu, Indosat dikabarkan menderita kerugian hingga Rp 652 miliar selama tiga tahun dimaksud. Pemerintah sebagai pemegang saham 14,29 persen Indosat (minoritas), karena itu juga dirugikan Rp 93 milliar, dan negara berpotensi kehilangan pemasukan pajak sebesar 30 persen (setara Rp 196 milliar). Mengingat Indosat adalah perusahaan public, publik pun dirugikan Rp 283 miliar akibat transaksi tersebut.

Law Firm Sholeh.Adnan & Associates adalah pengacara dari Marwan Batubara (Anggota DPD RI, Anggota ILUNI UI Jakarta), Chandra Tirta Wijaya (Anggota ILUNI UI Jakarta), Bagus Satrianto (Anggota ILUNI UI Jakarta), Venny Zano (Anggota ILUNI UI Jakarta), Ismed Hasan Putro (Pengurus Masyarakat Profesional Madani/MPM), Agus Salahuddin (Anggota ILUNI UI Jakarta) dan Taufik Amrullah (Pengurus KAMMI). Mereka mengeluarkan somasi, menyusul pernyataan Kuan Kwee Jee, Senior Vice President Strategic Relations and Corporate Communication STT yang dimuat Investor Daily, Kamis, 19 Juni 2008 berjudul “STT Tak Ingin Permalukan RI.”

Dalam wawancara itu, Kuan antara lain mengatakan, dalam lima tahun STT untung lima kali lipat dari saham Indosat. Dia mengatakan, banyak kalangan menilai, STT juga investor asing lainnya, meraih untung besar karena membeli perusahaan bagus di Indonesia tapi sebenarnya tidak melakukan apa-apa, hanya sekadar menaruh uang.

“Siapa bilang STT tidak melakukan apa-apa dan hanya menaruh modal. Kami melakukan banyak hal. Anda tahu, saat kami masuk di Indosat tahun 2002, perusahaan itu tidak bisa berkembang, tidak punya dana untuk ekspansi. Mau pinjam dana ke bank, credit rating-nya rendah, jadi sulit. Kami masuk lalu membenahi manajemen, memperbaiki struktur keuangan, dan melakukan banyak hal. Hasilnya anda lihat sendiri. Bagaimana keuangan Indosat tahun 2002 dibanding sekarang. Bagaimana lonjakan pelanggannya.,” Begitulah kutipan langsung dari Kuan.

Pernyataan Kuan menurut kantor pengacara itu bertolak belakang dengan fakta. Karena sebelum diambil-alih Temasek, Indosat sebetulnya merupakan BUMN yang terus berkembang sejak 1980. Dalam tiga tahun terakhir sebelum dijual, pendapatan Indosat terus tumbuh, masing Rp 2,992 triliun (2000), Rp 5,138 triliun (2001), dan Rp 6,767 triliun (2002).

Kini kepemilikan BUMN strategis itu sebagian besar sudah tidak di tangan pemerintah. Sejak Maret tahun ini QTel sebagai pemilik baru Indosat, telah melakukan pembelian atas 1.314.466.755 saham seri B, termasuk saham seri B yang mendasari American Depositary Shares dari Indosat. Kedua jenis saham itu mewakili 24,19 persen dari jumlah keseluruhan saham publik yang diterbitkan Indosat.

Dikutip oleh Antara, Ketua QTel Group, Sheikh Abdullah Bin Mohammed Bin Saud Al-Than mengatakan, penguasaan saham mayoritas di Indosat setelah tender offer sukses dilakukan serentak di Indonesia dan Amerika Serikat, sejak Kamis 26 Februari 2009. Tak lupa Al-Thani memastikan dengan tuntasnya akuisisi tersebut, Qtel akan menjadi salah satu 20 perusahaan telekomunikasi terbaik di dunia pada tahun 2020.

Dalam pembelian itu, Qtel menetapkan harga penawaran tender (tender offer) atas setiap lembar saham Indosat sebesar Rp 7.388. Harga tersebut setara dengan harga pembelian Qtel terhadap 40,81 persen saham Indosat dari STT, 22 Juni 2008. Dengan demikian, Qtel saat ini sudah menguasai 65 persen saham Indosat atau menjadi pemegang saham mayoritas.

Merujuk kepada Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 junto Perpres No. 111 /2007 tentang Daftar Negatif Investasi, investasi asing pada bisnis telekomunikasi jaringan tetap (fixline) ditetapkan maksimal sebesar 45 persen. Namun Indosat rupanya merupakan pengecualian. Kali pertama Indosat dijual kepada STT (Temasek) 15 Desember 2002, menteri BUMN waktu itu dijabat oleh Laksamana Sukardi (sekarang menjadi petinggi di Partai Demokrasi Pembaruan, pecahan PDIP, yang sekarang juga merapat ke Yudhoyono) dan Boediono sebagai menteri keuangan. (bersambung)

No comments:

Post a Comment