Saturday 13 June 2009

JK, SBY, dan Aceh

JK, SBY, dan Aceh

BAGI pendukung calon presiden tertentu yang sebegitu hebatnya dukungan itu sehingga langsung fanatik hanya karena pencitraan, tulisan ini sangat tidak pas untuk Anda.
Tulisan ini dimaksudkan untuk mengungkapkan satu sisi kepemimpinan, yang barangkali saja, berguna untuk bangsa ini.

Suatu waktu, saya lupa tahun berapa (tapi kira2 dua tahun lalu), Jusuf Kalla duduk di ruang tamu rumahnya di Jl Haji Bau, Makassar. Di sini JK selalu menginap kalau pulang kampung. Ada Hotel Sahid, hotel bintang lima miliknya bersama Sahid Group, tapi ia lebih senang menginap di sini.
Ruang tamu rumah itu kira-kira berukuran 5x5 meter, dengan kursi-kursi tamu yang sering kita jumpai di rumah tipe menengah. Tidak tampak kesan mewah di rumah berlantai satu itu. Bila ke Makassar, Anda mungkin tidak percaya bahwa rumah di tepi Jl Haji Bau adalah rumah wakil presiden, rumah seorang konglomerat dengan kekayaan lebih Rp 300 miliar, rumah seorang pengusaha yang mewarisi kekayaan sejak tahun 1960-an, rumah pembayar pajak (perorangan maupun badan hukum) terbesar di seantero Indonesia timur sejak tahun 1990-an sampai sekarang.
Duduk di ruang tamu, JK terlihat santai seperti biasa dengan baju lengan panjang kegemarannya yang digulung. Di kantongnya ada pulpen merek Pilot, juga kegemarannya.
Pintu depan dan belakang rumah terbuka lebar sehinga udara bebas ke luar masuk. Tidak ada AC (atau mungkin tidak di-on-kan). Sempat ke belakang, terlihat daun pintu rumah mulai terkelupas. Tulang-tulang pintu sudah di makan rayap.
Kepada beberapa orang, JK mengemukakan kegelisahannya. Ia bercerita mengenai derasnya kritik mengenai idenya (yang kemudian dilaksanakan depdiknas) untuk menerapkan standar kelulusan di SD, SMP, dan SMA. Protes itu begitu kerasnya, sampai-sampai pernah, suatu waktu, tiga artikel di halaman opini Kompas hanya berisi kritik mengenai gagasan itu.
Berbagai demonstrasi digelar. Intinya, menolak standardisasi kelulusan. Kira2, pemrotes menghendaki tidak perlu standar. Toh kualitas lulusan tidak ditentukan oleh nilai-nilai di atas kertas. Argumentasi ini diperkuat ketika juara Olimpiade Fisika atau Olimpiade tidak lulus ujian.
Mendapat protes seperti itu, JK, seperti biasa tidak peduli. ”Kapan bangsa ini maju kalau kita tidak memiliki standar kelulusan,” katanya.
Konon ada survei kecil-kecilan, mutu pendidikan kita setingkat di bawah Singapura. Mutu lulusan TK di sana kira2 sama dengan SD di Indonesia. Begitu seterusnya, lulusan SD Singapura sama dengan lulusan SMP di Indonesia, SMP=SMA, SMA=PT. Lulusan S2 kita sama saja dengan kualitas lulusan S1 di sana, dan akhirnya, lulusan S3 di Indonesia di sana cuma S2.
Bila ini dibiarkan terus, JK yakin, bangsa ini akan tertinggal terus. Kaum profesional Singapura akan menyerbu Indonesia, sementara Indonesia hanya akan sanggup mengekspor babu, mengekspor TKI. Bila pendidikan tidak dibenahi, bangsa ini akan jadi bangsa babu terus menerus. Pergilah ke luar negeri dan Anda akan tahu bahwa bangsa ini hanya dikenal sebagai bangsa babu, selain sebagai sarangnya teroris.
Karena itulah, JK tetap pada pendiriannya. Ia tampil di depan membela gagasan-gagasannya, sementara Mendiknas ketika itu entah ada di mana. Presiden juga saya tidak tahu sedang merias diri di mana.

Itulah JK. Ia memiliki visi membangun bangsa ini, dan ia tahu caranya bagaimana. Bahwa ada risiko tidak populer di sana, JK tidak peduli. Ide besar untuk membawa bangsa ini bermartabat tidak boleh dikalahkan, katakanlah, oleh hanya ancaman kehilangan popularitas.
Saya juga ingat bahwa JK, melalui Partai Golkar, paling getol mendorong amanat MPR untuk menaikkan anggaran pendidikan 20 persen. Sebagai partai besar, Golkar tidak saja menjadi jembatan efektif ide pemerintah di DPR, malinkan juga sering menjadi ”bumper”.
Sekarang, kita tahu, ada partai tertentu, atau bahkan ada calon presiden tertentu, yang mengklaim prestasi yang populis itu sebagai ”hasil kerja pemerintah”. Saya, yang tahu cerita ini, hanya tertawa-tawa saja. Itulah enaknya kita hidup di Indonesia, yang rakyatnya gampang sekali dibohongi oleh iklan TV.
Sedikit demi sedikit, JK mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi, setidak-tidaknya menurut versi dia sendiri. Buat saya, ini penting agar bangsa ini belajar dan mengambil hikmah. Semoga semua itu berguna untuk bangsa, untuk kesejahteraan rakyat.
Kalaulah JK kemudian kalah, setidaknya bangsa ini akan belajar bahwa di negeri ini, tidak penting hanya bekerja saja. Bahkan yang jauh lebih penting justru bukan bekerja, melainkan membangun pencitraan.
Saya terkesan dengan tulisan Sofjan Wanandi di Kompas yang mengungkapkan bagaimana posisi seorang capres dalam kasus Ahmadiyah. Protes bermunculan mengenai Ahmadiyah dari hampir semua organisasi Islam, tak terkecuali NU dan Muhammadiyah. Sebaliknya, ada juga yang mendukung Ahmadiyah dari sisi hak asasi.
Apa yang dilakukan capres itu adalah tidak mengambil keputusan apapun. Itu dilakukan bukan untuk menyelesaikan masalah, melainkan menghindarinya demi popularitas, demi pencitraan.
Di Banda Aceh hari Sabtu (12/6), JK mengungkapkan satu cerita mengenai proses perdamaian di Aceh. Di sana terungkap bagaimana kualitas kepemimpinan seorang calon presiden.
Dengan nada agak tinggi, JK mengatakan, "Coba periksa, tidak ada tanda tangan siapa pun kecuali tanda tangan saya di dalam perjanjian perdamaian Helsinki itu. Saya pernah minta untuk ditandatangani soal pendirian partai lokal, akan tetapi presiden tidak mau. Akhirnya, saya yang menandatangani dengan segala risiko setelah 10 kali membacakan Surat Yassin bersama istri saya."
Seperti dilaporkan kompas.com. Ya.Ampun....JK.Telanjangi.SBY, JK mengungkapkan pernyataan itu dalam kampanye dialogis di hadapan sekitar 1.000 pendukung dan kader Partai Golkar di gedung Sarana Kebudayaan Anjung Monmata di Jalan SA Mahmudsyah, Banda Aceh, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
Ketika itu, setelah bersusah payah bahkan dana dari kantongnya sendiri, JK menemui jalan buntu dalam proses perundingan ketika GAM bersikeras memasukan klausul pendirian partai lokal sebagai prasayarat menuju perdamaian Aceh.
Kita tahu, pendirian partai lokal bertentangan dengan UU Partai Politik maupun UU Pemilu. Presiden tidak menandatangani klausul itu, dan JK menunjukkan kualitas kepemimpinannya sebagai seorang pemimpin, yakni keberanian mengambil risiko.
JK mengambil risiko karena meyakini, tanpa perdamaian, rakyat Aceh dan TNI akan terus menjadi tumbal dan Aceh akan terus dicabik-cabik konflik yang taruhannya bisa saja seperti kasus Timor Timur: Aceh akan lepas dari NKRI.
Bila Aceh pisah dari Indonesia, JK akan mempermalukan seluruh warga Sulawesi Selatan. Dulu Timor Timur pisah dari Indonesia karena Habibie.
JK mengambil risiko itu ketika yang lainnya tidak ada yang bersedia. Dan, sekarang, ketika Aceh sudah damai, Golkar, partai yang dipimpin JK, malah kalah di Aceh, dan ada orang yang masuk 100 tokoh berpengaruh versi Time, dan ada juga orang yang mengharapkan Nobel Perdamaian.
Kompas.com juga melansir JK yang menyatakan soal presiden yang disebutnya hanya manggut-manggut saat dilapori soal perkembangan perundingan damai Aceh. "Semua yang saya lakukan terkait perundingan damai Aceh itu, sepengetahuan Presiden. Dan, itu saya laporkan. Waktu saya laporkan, beliau biasanya manggut-manggut. Pemimpin itu cukup mengangguk-angguk saja. Presiden kita bagus karena tidak pernah menolak, meskipun juga tidak pernah memberikan pengarahan (soal perundingan)," ungkap Kalla.
Kalla selanjutnya juga menceritakan peranan SBY di kala pemberlakuan Darurat Sipil di Aceh. Sebaliknya, ia juga seperti mengklarifikasi siapa yang menandatangani Darurat Sipil di Aceh pada waktu itu. "Bukan kami (yang keluarkan). Kami waktu itu Menko Kesra. Ada teman saya yang meneken darurat sipil waktu itu. Kalau Pak Wiranto (pasangannya sebagai cawapres), justru yang mencabut Daerah Operasi Militer (DOM), dan minta maaf atas Aceh," lanjut Kalla.
Darurat sipil, kita tahu, adalah payung hukum bagi militer untuk melancarkan perang di negerinya sendiri. Banyak orang yang berlumuran darah setelah itu, di pihak rakyat maupun TNI. Hebatnya lagi, orang itulah yang mengharapkan Nobel Perdamaian.
Soal Nobel Perdamaian itu juga dilaporkan kompas.com. JK juga menyinggung tentang hadiah nobel yang diharapkan seseorang terkait dengan perundingan damai di Aceh. "Hadiah yang tertinggi dari perundingan damai itu adalah yang datang dari Allah SWT. Bukan nobel. Tidak tahu, kalau ada orang yang mengharapkan hadiah nobel itu," ungkap JK.
Kekuatan kepemimpinan JK, menurut saya, adalah kemampuannya melihat masalah secara berbeda dan menemukan solusi yang berbeda.
Dalam konflik Aceh, seperti juga kasus Poso dan Ambon, militer dan birokrasi kita selalu melihat masalahnya sebagai politik dan ancaman disintegrasi. Lalu seluruh dana, personel, dan energi dikerahkan untuk itu –hal yang terbukti tidak pernah menyelesaikan masalah. Kita lihat dalam ancaman disintegrasi di Papua, pendekatan yang sama dilakukan dan masalahnya tidak selesai sampai hari ini.
JK melihatnya dari sudut yang berbeda. Sebagai seorang pengusaha yang senantiasa bekerja dengan rencana kerja terukur, JK melihat masalahnya adalah masalah ekonomi, masalah ketidakadilan. Dari sana ia mengurai benang kusut konflik Aceh dan terbukti manjur sampai hari ini.
Rekan dia di pemerintahan, yang terbiasa dengan cara berpikir lama, merumuskan solusi darurat sipil sebagai obat untuk Aceh. Terbukti selama bertahun-tahun, obat itu tidak pernah manjur. Malah yang terjadi adalah kisah pembunuhan yang satu ke pembunuhan yang lainnya.
Saya sadar, dengan menulis posting ini, ada yang tidak setuju, bahkan marah. Mohon maaf untuk itu. Bila posting ini tidak berguna, lupakan saja.
Kita ingin juga mendengar bagaimana versinya Pak SBY. Ini akan semakin melengkapi pemahaman kita tentang apa sesungguhnya yang terjadi dengan proses perdamaian di Aceh.

No comments:

Post a Comment