Friday 5 June 2009

Cerita di Balik Penjualan BCA

Sumber: http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=17708&cl=Berita
'Kayak Jual Mangga, Harus Laku dengan Harga Berapa pun'
Kasus BLBI

[29/9/07]

Mantan Menteri Koordinator Ekonomi Kwik Kian Gie berteriak menyingkap kasus BLBI di depan Panitia Kerja DPR. Segenap anggota dewan pun terperangah. Fraksi banteng moncong putih jadi gerah.

“Bayangkan ada seorang ibu penjual mangga. Lantas Anda memasang plang pengumuman 'Mangga ini harus ludas terjual sebelum sore hari ini dengan harga berapa pun'. Anda pasti dipukuli banyak orang. Tapi tidak untuk kasus penjualan BCA (2002). Pemerintah kita, malah menghias plang tersebut supaya gamblang terbaca,” teriak Kwik Kian Gie di depan Panitia Kerja Bantuan Likuiditas Bank Indonesia DPR (Panja BLBI), Kamis lalu (27/9).

Menteri Koordinator Bidang Ekonomi era Presiden Abdurrahman Wahid ini membeberkan apa yang terjadi di balik penyehatan perbankan dan BLBI. Negara telah menggelontorkan Rp144 triliun untuk BLBI dan Rp430 triliun untuk obligasi rekap sejak olengnya pilar perbankan terempas krisis ekonomi 1997-1998 silam.

Khusus BCA, Kwik menjelaskan bank ini terlanjur disuntik tiga kali, yakni Rp8 triliun, Rp13,28 triliun, serta Rp10,7 triliun. Lantas BCA hanya bisa melunasi Rp8 triliun utang pokok dan Rp8,3 triliun utang bunga. Sisanya tidak mampu dilunasi. Karena itulah, kala itu dikenal konsep penyertaan modal (equity capital), maksudnya pemerintah berhak memiliki bank yang telah disuntik BLBI dan obligasi rekap. Untuk BCA, 92% dimiliki oleh pemerintah dan 8% sisanya punya keluarga Salim.

Dihitung-hitung, keluarga Salim punya utang Rp53 triliun kepada pemerintah. Namun hanya mampu melunasi tunai Rp100 miliar. Sisanya, mereka lunasi dengan berupa 108 perusahaan yang ditaksir senilai Rp52,7 triliun (Master Settlement and Acquisition Agreement, MSAA).

Selanjutnya, BCA lepas dari genggaman pemerintah dengan terjual hanya Rp5 triliun atau senilai 51% saham. “Bagaimana nalar? BCA kala itu sudah bisa mencetak laba Rp4 triliun kok. Tak cukup dari itu, si pemilik baru malah berhak punya tagihan kepada pemerintah Rp60 triliun dan bakal menggulung piutang bunga Rp10 triliunan jika tidak dilunasi,” tukasnya berapi-api.

Keterangan Kwik malah memerahkan telinga Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP). “Bukannya Pak Kwik sendiri yang menandatangani letter of intent (LoI) dengan IMF? Berarti Anda yang bertanggung jawab,” ujar anggota Panja Max Moein.

Kwik, selaku Menteri Koordinator Ekonomi era Gus Dur, mengaku pernah meneken sejumlah LoI dengan IMF. Namun Kwik menolak membudak kepada lembaga dunia tersebut. “Tapi dalam perkembangannya saya dikhianati,” tuturnya.

Kwik mencontohkan kelanjutan proses penjualan BCA. Waktu itu dia sudah bergeser menjadi Kepala Bappenas era Presiden Megawati Sukarnoputri. “Saya punya usulan. Namun ditentang habis dalam sidang kabinet. Satu lawan semua. Saya dikhianati, termasuk oleh presiden saya sendiri (Megawati, red)”.

Kwik menuturkan telah digelar sidang kabinet dua kali. “Tak ada satu pun agenda penjualan BCA. Tapi menko Kesra Jusuf Kalla yang punya background seluk-beluk perdagangan, mengusulkan dibahas juga.”

Kwik mengusulkan dalam menjual BCA, pemerintah mesti mematok harga yang dirahasiakan. “Lalu tenderkan secara terbuka. Para penawar harus mengajukan harga tawaran dalam amplop tertutup. Setelah batas waktu, dibukalah bersama-sama amplopnya. Siapa yang menawarkan harga tertinggi, dialah yang menang. Tapi jika harga tertinggi tidak lebih dari patokan harga pemerintah, proses diulang lagi.”

Namun, kenyataannya, Menko Ekonomi Dorodjatun Kuntjorojakti memilih langkah tergesa-gesa. “Katanya, sore itu juga BCA harus laku terjual. Habislah kesabaran saya. Dan kala itu yang datang menenangkan saya adalah Menko Polkam SBY. Anda bisa meminta keterangan dari menteri-menteri kala itu yang kini masih duduk di pemerintahan: Menkeu Boediono (kini Menko Ekonomi), SBY, dan Jusuf Kalla,” sambung Kwik. Akibatnya, yah itu tadi, BCA hanya terjual Rp5 triliun.

Rizal Ramli, mantan menteri keuangan dan menteri koordinator bidang ekonomi, menimpali BLBI, obligasi rekap, serta resep penyehatan perbankan adalah tekanan IMF. “Sangat mahal. Berapapun ongkosnya,” tuturnya.

Setelah bobol beratus triliun dana, harga 16 bank waktu itu merosot. “Barulah saat itu ada sebuah bank dari Eropa yang bersedia memborong perbankan Indonesia. Tahukah konsultan bank Eropa itu? Utusan IMF untuk Indonesia, Hubert Neiss,” singkap Rizal. Kwik melengkapi, bank Eropa yang dimaksud adalah Deutchbank.

Rizal siap dikonfrontir dengan sejumlah mantan menteri lainnya. “Harusnya forum ini menghadirkan mantan menteri zaman itu. Biar keterangan kita bisa ditanggapi oleh mereka. Karena mereka juga terlibat meneken berbagai kesepakatan dan kebijakan.”

Sayang, kala itu yang bersedia hadir hanya Kwik Kian Gie dan Rizal Ramli. Sederet mantan menteri ekonomi dan koordinator bidang ekonomi enggan datang. Mereka adalah Ginandjar Kartasasmita, Burhanuddin Abdullah, Dorodjatun Kuntjorojakti, Bambang Subiyanto, Bambang Sudibyo, serta Boediono.

Keterangan Kwik dan Rizal membuat para anggota dewan tercengang. “Sewaktu saya duduk di pemerintahan sebelumnya (sebagai Menteri Penerangan era Presiden Habibie -red), saya tak tahu sama sekali. Saya sepakat ini harus diungkap,” ujar Yunus Yosfiah, anggota Panja dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP).

“Saya minta ada sesi lanjutan karena banyak hal yang belum terungkap,” ujar Retna Situmorang dari Fraksi Partai Damai Sejahtera. Baik Yunus maupun Retna disambut setali tiga uang oleh anggota lainnya.

Interpelasi lebih berat

Selain membentuk Panja BLBI, anggota dewan juga getol menggalang interpelasi. Kamis lalu (27/9), rombongan penggagas interpelasi telah menyerahkan kumpulan tanda tangan kepada Ketua DPR Agung Laksono.

Namun, buru-buru Dradjad Wibowo sadar, interpelasi kali ini bakal berat. “Saya rasa iya, tingkat kesulitannya sangat tinggi,” tutur anggota Komisi XI ini ketika dimintai jawaban, apakah interpelasi ini lebih berat daripada kasus Lapindo. Kasus BLBI, menurut Dradjad, menyentuh hampir semua pihak. Dradjad, yang juga Wakil Ketua Panja BLBI, turut meneken interpelasi itu.

“Bukan masalah BLBI tok. Tapi juga soal biaya penyehatan perbankan lainnya yang dirasakan sangat merugikan negara. Beban per tahun Rp50-60 triliun tergantung suku bunga SBI. Akibatnya kita tidak punya cukup dana untuk menurunkan harga minyak goreng dan kebutuhan lainnya,” sambung Dradjad.

Tak seperti sepak terjang sebelumnya -sebagai partai oposisi, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP) enggan turut nyemplung dalam interpelasi kali ini. “Jelas saja, hal itu sudah menunjukkan PDIP itu partainya siapa,” ketus Kwik.

Menurut Kwik, interpelasi BLBI tak bakal banyak membawa manfaat. “Nasi sudah jadi bubur. Buburnya pun sudah habis dimakan. Yang mau diinterpelasi apa, yang dipermasalahkan apa, juga tidak jelas,” ujarnya. Meski demikian, Kwik berharap dengan menggelindingnya bola interpelasi ini, wacana BLBI terjaga menyala. “Harus ada diskusi publik untuk menyelesaikan masalah ini,” sambungnya.

Sementara itu, Jaksa Agung Hendarman Supandji menandaskan interpelasi adalah hak anggota DPR. “Itu urusan politis. Kita tidak mengurusi politik,” ujarnya seusai salat Jumat di lingkungan kantornya (28/9). Hendarman tetap lempeng menyelidiki kasus ini dari segi pidana.

Dalam berbagai kesempatan sebelumnya, Hendarman berjanji bakal mengangkat bukti kasus ini. Setidaknya Hendarman butuh waktu tiga bulan. Hingga kini baru berjalan dua bulan. “Nanti setelah tiga bulan bakal terang benderang semuanya,” tukasnya kala itu.

(Ycb/Ali)

No comments:

Post a Comment