Saturday 6 June 2009

Nasiolisme ala JK vs Neolib

Jusuf Kalla bukan seorang akademisi, bukan pula aktivis sosialis. Gelar akademisnya Drs lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin. Ia pengusaha yang lahir dan besar dengan prinsip mencari untung.
Bukan kampus, tapi lingkungan keluarganyalah yang membuatnya jadi "sosialis". Ayahnya, Hadji Kalla, seorang yang kaya raya di Makassar. Ibunya, Athirah, seorang aktivis Muhammadiyah. Kalla yang pengusaha adalah tokoh Nahdlatul Ulama.
Dua organisasi Islam besar itu merupakan perwujudan dari idealisme Hadji Kalla dan Athirah untuk mengabdi kepada masyarakat. Rumah mereka di Jl Andalas, Makassar, misalnya bebas ditiduri tukang becak. Orang kaya biasanya ingin hidup nyaman, tidak mau diganggu, apalagi oleh pemandangan kotor seperti tukang becak. Hadji Kalla tidak begitu. Ia, yang sederhana dengan topi putih di kepalanya, menikmati hidup justru dengan orang miskin.
Kepeduliannya pada agama juga sangat besar. Banyak masjid, banyak pula pesantren, yang dibantu keluarga itu.
Dalam suasana keluarga seperti itulah Kalla tumbuh dan besar. Ia menikmati kehidupan sebagai orang kaya, sekaligus mewarisi jiwa sosial orang tuanya. Itulah pula yang melahirkan benih-benih idealisme Kalla.
Dengan bekal idealisme itu, ia meninggalkan kehidupan mewah sebagai orang kaya. Sejak mahasiswa ia memimpin organisasi mahasiswa, berjuang bersama KAMI angkatan 66, menjadi Ketua HMI Cabang Makassar (kantor HMI Cabang Makassar sampai sekarang merupakan sumbangan Kalla), menjadi anggota DPRD termuda, beberapa kali menjadi anggota MPR, memimpin Kadin, memimpin perusahaan Kalla Group, mendirikan dan memimpin yayasan sosial (pendidikan dan keagamaan), menjadi Ketua Forum Antarumat Beragama Sulsel sampai sekarang, menjadi Menteri Perdagangan dan Perindustrian di era Gus Dur, menjadi Menko Kesra di era Megawati, dan terakhir menjadi Wakil Presiden.
Kalla selalu mengatakan, ia menjadi calon presiden bukan untuk mencari kemuliaan bagi dirinya, tapi kemuliaan bagi bangsanya. Hartanya saat ini Rp 300 miliar, lebih dari cukup untuk menikmati kemuliaan pribadi. Hartanya produktif, seperti hotel, mal, dealer mobil, tanah, tabungan --yang cukup untuk dinikmati anak dan cucu-cucunya.
Justru dengan menjadi calon presiden, Kalla menghadapi risiko besar tabungannya terkuras, dan bila Kalla, kehormatannya menjadi taruhan. Risiko yang besar itu menjadi kecil di tengah ambisinya mewujudkan apa yang dia sebut sebagai kemandirian dan martabat bangsa melalui percepatan pembangunan ekonomi.
Ideologi ekonominya sosialis, pro rakyat. Ia percaya bahwa pembangunan ekonomi akan menolong mayoritas rakyatnya yang miskin melalui pemanfaatan sumber daya alam.
Untuk menaikkan taraf hidup rakyat, ia prosubsidi tapi untuk sementara. Dalam jangka panjang, pertumbuhan ekonomi harus dipacu, sembari pada saat yang sama, biaya hidup rakyat yang mendasar seperti pendidikan, kesehatan, dan transportasi harus ditekan sekecil mungkin.
Ini antara lain salah satu pendapatnya:


sumber: http://inilah.com/berita/politik/2009/06/06/113182/bedanya-jk-dengan-penganut-neolib/

06/06/2009 - 16:28
Bedanya JK Dengan Penganut Neolib
Windi Widia Ningsih
Jusuf Kalla
(inilah.com/Agus Priatna)

INILAH.COM, Jakarta - Capres Jusuf Kalla kembali menegaskan bila saat ini Indonesia membutuhkan pemimpin yang dapat mengajak bangsanya menjadi bangsa yang mandiri. Ketua Umum Golkar ini pun menjelaskan perdeaan dirinya dengan penganut neoliberalisme.

"Para liberalis mengatakan jangan campur tangan, biarkanlah swasta dan asing menguasai. Kita diam saja, terima beres saja. Saya bilang tidak mungkin, negara itu harus menjamin setiap warganya. Inilah letak perbedaan para orang liberalis dengan saya," ujarnya dalam saat pidato dihadapan Relawan Relawan Berani Bangkit Mandiri di Wisma Perwari, Menteng, Jakarta, Sabtu (6/6).

JK mengatakan, bila semua dikendalikan oleh swasta dan asing tanpa ada campur tangan pemerintah, lalu apa gunanyan ada sebuah negara. "Mereka itu tidak mau menjaminnya, mereka biarin pasar berjalan dan saya bilang anda tidak menjamin itu. Apa gunanya negara klo negara tidak campur tangan untuk rakyatnya," kata JK.

Menurutnya, yang dapat menyelesaikan masalah bangsa ini adalah bangsanya sendiri. Yang dapat memajukan bangsa ini adalah kerjasama yang didasari atas pemahaman ideologi bangsa bahwa bangsa adalah yang terpenting. JK mengaku dirinya akan menjalankan amanah bangsa untuk kepentingan semua pihak.

"Ini semua tergantung dengan paham apa yang kita jalankan untuk bangsa ke depan. Saya sependapat tidak ada bangsa yang bisa maju selain bangsa itu sendiri yang ingin maju. Dan yang dimaksud ingin maju adalah keyakinannya, sumber alamnya, manusiannya dan pemimpinnya yang menjadi kekuatan yang besar.," ungkapnya

JK menyatakan, bangsa ini tidak akan bisa maju kalalu selalu minta bantuan, memakai otak orang, otot orang dan menerima bersih. Sementara kekayaan Indonesia diambil semena-mena dan merasa puas akan itu. "Itulah yang berjalan sekian lama, kita membiarkan bangsa ini dikelola kemudian kita menerima seadanya dan kita ketinggalan dengan bangsa lain," imbuhnya. [mut/]

No comments:

Post a Comment